Rabu, 29 November 2017

KONSELING LINTAS BUDAYA DALAM PRAKTIK



KONSELING LINTAS BUDAYA DALAM PRAKTIK

DISUSUN OLEH:
AYU ANUGRAH
LISA ANDRIANI
NAZLI RUSTIAN
YULISA MUTIARA SARI
 





MATA KULIAH:
KONSELING LINTAS BUDAYA

BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH & KEGURUAN
UIN SUMATERA UTARA MEDAN
2017

KATA PENGANTAR
            Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
            Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat umur, nikmat kesehatan dan kesempatan, sehingga pada hari ini kita masih menjalankan aktivitas seperti biasanya, semoga aktivitas yang kita laksanakan bernilai ibadah disisi Allah SWT. Amin..
            Sholawat bermutiarakan salam kita hadiahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya, yang telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
            Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian tugas makalah Konseling Lintas Budaya  ini yang berjudul “Konseling Lintas Budaya dalam Praktik”. Kami juga membuka kritik dan juga saran apabila pada makalah yang kami buat ini terdapat kekurangan dan kesalahan,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin..

                                                                                    Medan, 19 November 2017

                                                                                                Penulis





DAFTAR ISI
Kata Pengantar______________________________________________ i
Daftar Isi___________________________________________________ ii
BAB I Pendahuluan__________________________________________ 1
BAB II Pembahasan__________________________________________ 2
A.    Pengertian Konseling Lintas Budaya_______________________ 2
B.     Pendekatan Konseling Lintas Budaya______________________ 4
C.     Model Konseling Lintas Budaya__________________________ 5
D.    Karakteristik Konselor Lintas Budaya yang Efektif____________ 8
E.     Permasalahan Konseling Lintas Budaya_____________________ 9
F.      Konseling Lintas Budaya dalam Praktik_____________________ 11
BAB III PENUTUP__________________________________________ 14
DAFTAR PUSTAKA`________________________________________ 15

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula.
Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensidimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan   yang berwawasan lintas budaya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dasar pertimbangan yang melatari sangat pentingnya wawasan lintas budaya dalam bidang pendidikan, terutama dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi yang sangat pesat, yang antara lain ditandai dengan kecenderungan besar perubahan kehidupan sebagai berikut. Pertama, kehidupan demokratisasi yang ditunjukkan dengan kesadaran akan hak asasi yang semakin meningkat pada setiap lapisan masyarakat. Kedua, transparansi sebagai dampak dari perkembangan jenis media dan informasi yang semakin beragam, yang menuntut kemampuan memproses dan memproduksi secara cerdas. Ketiga, efisiensi dalam pemanfaatan waktu yang menuntut manusia untuk pandai membuat keputusan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan penaksiran serta penerimaan risiko dari setiap keputusan secara bertanggung jawab.



BAB II
PEMBAHASAN
KONSELING LINTAS BUDAYA DAN PRAKTIK
A.    Pengertian Konseling Lintas Budaya
Pengertian Konseling Lintas Budaya Konseling lintas budaya yaitu suatu proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya dan dilakukan dengan memperhatikan budaya subyek yang terlibat dalam konseling. Jika konseling memperhatikan budaya, maka konseling semacam ini adalah pemaduan partner secara meningkat dari budaya yang berbeda baik antara kelompok bangsa, kelompok etnik, atau kelompok-kelompok yang peranan mereka secara budaya dibedakan. Konsekuensinya adalah konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus budaya dalam proses konseling dan dalam gaya konseling tertentu mereka, sehingga mereka dapat menanganinya secara lebih terampil dengan variabel budaya itu.[1]
Konseling lintas budaya dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilainilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.[2] Selain itu konseling lintas budaya tidak hanya terjadi pada suku yang berbeda tetapi bisa jadi masih dalam satu suku yang sama. Seperti konselor dari Jawa Tengah sedangkan kliennya berasal dari Yogyakarta, sama-sama bersuku Jawa, namun berbeda provinsinya.
Prayitno dan Erman Amti[3] dengan mengutip hipotesis Pedersen dkk. menjelaskan bahwa dalam konseling lintas budaya harus memperhatikan berbagai aspek dan seluk beluknya, yaitu:
1.      Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling lintas budaya yang pada diri klien dan konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.
2.      Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dan berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.
3.      Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku dalam konseling lintas budaya, makin efektiflah konseling dengan klien tersebut.
4.      Makin bersifat personal dan penuh dengan nuansa emosional suasana konseling lintas budaya, makin mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya.
5.      Keefektifan konseling lintas budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien.
6.      Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup sehari-hari yang relevan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tersebut.
7.      Makin klien lintas budaya kurang memahami proses konseling, makin perlu konselor atau program konselinglintas budaya memberikan pengarahan/pengajaran/latihan kepada klien itu tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan transfer (mempergunakan keterampilan tertentu pada situasi-situasi yang berbeda).
8.      Keefektifan konseling lintas budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman (klien dan konselor) tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.
Lanjut Pedersen seperti dikutip oleh Sulistyarini & Mohammad Jauhar bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen, yaitu:
a.       Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
b.      Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor;
c.       Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.[4]
Sehingga menurut kesimpulan pemakalah praktik konseling lintas budaya ini terjadi pastilah dalam hal yang berbeda seperti proses konseling umumnya, baik itu tempatnya, latar belakang budayanya dan posisi konselor dan konseli dalam suatu masyarakat.
B.     Pendekatan Konseling Lintas Budaya
Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya. Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokan.[5]
Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.
1.      Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakannya.
2.      Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3.      Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4.      Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:
·         Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
·         Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
·         Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.

C.    Model Konseling Lintas Budaya
Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
a.       Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.
Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
b.      Model Integratif (Integrative Model)
 Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
1.      Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
2.      Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
3.       Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
4.      Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).
Menurut Jones  pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilainilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
c.       Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya :
1.      Konsepsi sakit (sickness conception) Seseorang dikatakan sakit apa bila :
a.       Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
b.      Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
c.       Melakukan pelanggaran hukum d) Mengalami masalah interpersonal
2.      Causal/healing beliefs
a.       Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
b.      Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
c.       Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
d.      Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (share) tentang keyakinan yang sama
3.      Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.
a.       Mampu menentukan sehat dan sakit
b.      Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
c.       Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
d.      Menyadari dan memahami budayanya sendiri
4.      Body function beliefs
a.       Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir pebih bermakna
b.      Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari 
c.       Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli
5.      Health practice efficacy beliefs
Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

D.    Karakteristik Konselor Lintas Budaya yang Efektif
Karakteristik Konselor Lintas Budaya yang Efektif Karakteristik konselor yang melaksanakan layanan konseling lintas budaya menurut Sue dalam George & Cristiani menyatakan.
Pertama: konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai-nilai dan norma-norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapi memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan dirinya. Karena itu, konselor harus bisa menerima nilainilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
Kedua,konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
Ketiga, konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai atau norma-norma yang dimiliki oleh suku tertentu. Terlebih lagi, jika konselor melakukan praktik konseling di Indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia memiliki kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai-nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik.
Keempat, konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang klien untuk dapat memahami budayanya (nilainilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada aturan yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor memiliki kode etik konseling yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Kelima, konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekatan eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup.[6]
E.     Permasalahan Konseling Lintas Budaya
Sue seperti dikutip oleh Jumarin  mencatat tiga hal yang menjadi sumber hambatan atau kegagalan layanan konseling lintas budaya, yaitu:
1.      Program pendidikan dan latihan konselor; Umumnya program pendidikan/latihan konselor (kurikulum, prosespembelajaran, dll.) mengacu pada budaya kelas menengah ras kulit putih, sehingga para konselor kurang memiliki pemahaman, kesadaran, keterampilan, dan pengalaman konseling yang memiliki budaya berbeda dengan budaya barat (Eropa-Amerika).
2.      Kesehatan mental; Program pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor yang cultural encapsulation, mereka memiliki pandangan monokultural tentang kesehatan mental dan pandangan stereotipe yang negatif terhadap budaya lain.Pandangan tentang sehat atau normal tidaknya suatu perilaku sangat diwarnai oleh satu budaya (budaya barat, budaya kulit putih). Padahal setiap budaya memiliki ukuran normal tidaknya suatu perilaku.
3.      Praktek konseling profesional selama ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan ilmiah, yang mengacu pada budaya empiristik, individualistik, kebebasan dan sebagainya, dan kurang memperhatikan aspek-aspek budaya lain subyek yang dilayani, sehingga sering terjadi ketidakefektifan, saling berlawanan, ketidakcocokan dengan budaya klien.
Selanjutnya dalam proses konseling lintas budaya konselor harus paham dan mengerti budaya dari masing-masing klien, semisal klien dari suku Jawa, Madura, Bugis, Sunda, dan sebagainya. Hal ini penting dilakukan sebagai salah satu bentuk antisipasi ketika proses konseling berjalan. Apabila konselor sudah paham dan mengerti siapa kliennya maka akan sangat membantu dalam proses konseling selanjutnya.
Masalah lain yang mungkin timbul dalam proses konseling lintas budaya adalah apabila antara konselor dan konseli terdapat perbedaan jenis kelamin berada dalam ruangan tertutup. Seperti diketahui tidak semua agama memiliki persepsi yang sama ketika ada lawan jenis sedang berduaan di suatu ruangan, karena ditakutkan terjadinya fitnah. Apabila tidak ada kesepahaman antara konselor dan konseli dalam masalah tersebut maka dapat menghambat proses konseling.[7]
Maka menurut pemakalah haruslah ada keserasian dan saling memahamo antara konselor dan konseli agar terciptanya proses konseling yang efektif dan efisien sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

F.     Konseling Lintas Budaya Dalam Praktik
Sampai sejauh ini, sebagian besar perhatian kita curahkan untuk mencurahkan pertanyaan bagaimana memahami budaya dan bagaimana mengembangkan apresiasi terhadap besarnya pengaruh budaya terhadap cara orang menikmati dunia. Sekarang kita beralih kepada diskusi berkenaan dengan bagaimana pengaplikasian pendekatan multibudaya dalam praktik. Teknik dan strategi konsseling apa yang unik dari pendekatan ini. Firman MS (2008) kebudayaan merupakan pola kehidupan bersama masyarakat yang bersifat dinamis untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat indoneia yang majemuk mempunyai berbagai budaya dan pola perilaku yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kebudayaan yang dibawa klien dari masyarakatnya akan membatasi serta membolehkan mereka melakukan sesuatu yang dianggap pantas dan tidak pantas. Kepantasan klien berperilakuditentukan oleh sistem milai budaya mereka masing-masing. Sistem nilai yang telah dibangun oleh klien melalui proses sosialisasi dengan lingkungannya, berfungsi mengontrol serta mengarahkan mereka berperilaku. Kontak budaya, laju urbanisasi yang begitu cepat menimbulkan dampak yang cukup serius disegala bidang kehidupan klien. Semua ini menuntut untuk terlaksananya konseling lintas budaya diterapkan dalam mengatasi permaslaahan yang dialami klien. Layanan konseling tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya klien itu sendiri. Sebelum layanan konseling diberikan, para konselor diharapkan telah memahami berbagai kondisi sosial budaya klien. Pemetaan permasalahan sertabkondisi sosial budaya klien sangat membantu keefektifan memberikan layanan dan bimbingan yang dibutuhkan klien.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pastiakan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial dan budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya. Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai atau perasaan-perasaan negartif lainnya. pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikategorikan sebagai konseling linta budaya. Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang sangat prinsip.
Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif di dalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikan, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering turun untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambahkan khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku dimana saja kita berada. Nilai-nilai ini diterima oleh semua masyarakat di sunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai-nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang.
Lebih lanjut, menurut Pederse dkk bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1.      Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2.      Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konseli
3.      Asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling
4.      Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling (kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat dimana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri-sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkungan dimana dia berasal.[8]
Dari tinjauan di atas maka menurut pemakalah proses konseling lintas budaya ini amatlah menarik sebenarnya, karena dapat menunjukkan toleransi antar suku dan latar belakang budaya yang berbeda sehingga dapat menimbulkan rasa keharmonisan antar sesama konselor dan konseli
























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menibulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada disekitar individu.
Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan konsleing lintas budaya merupakan proses pemberian bantuan yang mana antara konselor dengan klien memiliki latar belakang budaya yang berbeda, seperti nilai-nilai, kepercayaan, dan lain-lainnya.









DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar M Luddin. 2010. Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktik. Bandung: Citapustaka Media Perintis
Jumarin. 2002. Dasar-Dasar Konseling Lintas-Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. 2008.  Counseling in a Multicultural Society.  London : Sage Publisher
Prayitno & Erman Amti. 1999. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Rineka Cipta
Sulistyarini & Mohammad Jauhar. 2014. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Prestasi Pustaka



[1] Jumarin, Dasar-Dasar Konseling Lintas-Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 29-30
[2]Sulistyarini & Mohammad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014), h. 273
[3]Prayitno & Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Rineka Cipta, 1999)
[4]Sulistyarini & Mohammad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling, h. 276-277
[5]Palmer, Stephen & Laungani, Pittu.  Counseling in a Multicultural Society.  (London : Sage Publisher, 2008) h, 105
[6]Luddin, Abu Bakar M.  Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktik, (Bandung: Citapustaka Media Perintis. 2010), h. 135-137
[7]Jumarin, Dasar-Dasar Konseling Lintas-Budaya, h. 43-44
[8] Abu Bakar M. Luddin, Dasar-Dasar Konseling Tinjauan Teori Dan Praktik. H. 114-120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VECTOR ART RONALDO