KONSELING LINTAS BUDAYA DALAM PRAKTIK
DISUSUN OLEH:
AYU ANUGRAH
LISA ANDRIANI
NAZLI RUSTIAN
YULISA MUTIARA SARI
MATA KULIAH:
KONSELING LINTAS BUDAYA
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH & KEGURUAN
UIN SUMATERA UTARA MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh
Puji dan syukur
kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat umur, nikmat
kesehatan dan kesempatan, sehingga pada hari ini kita masih menjalankan
aktivitas seperti biasanya, semoga aktivitas yang kita laksanakan bernilai
ibadah disisi Allah SWT. Amin..
Sholawat
bermutiarakan salam kita hadiahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW,
kepada keluarga dan para sahabatnya, yang telah membawa kita dari zaman
kebodohan ke zaman yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian
tugas makalah Konseling Lintas Budaya
ini yang berjudul “Konseling Lintas Budaya dalam Praktik”. Kami
juga membuka kritik dan juga saran apabila pada makalah yang kami buat ini
terdapat kekurangan dan kesalahan,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin..
Medan,
19 November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar______________________________________________ i
Daftar Isi___________________________________________________ ii
BAB I Pendahuluan__________________________________________ 1
BAB II Pembahasan__________________________________________ 2
A.
Pengertian Konseling Lintas Budaya_______________________ 2
B.
Pendekatan Konseling Lintas Budaya______________________ 4
C.
Model Konseling Lintas Budaya__________________________ 5
D.
Karakteristik Konselor Lintas Budaya yang Efektif____________ 8
E.
Permasalahan Konseling Lintas Budaya_____________________ 9
F.
Konseling Lintas Budaya dalam Praktik_____________________ 11
BAB III PENUTUP__________________________________________ 14
DAFTAR PUSTAKA`________________________________________ 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya
yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya
melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran
itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah
secara meningkat pula.
Hal ini
menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada
abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional
dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya
menegaskan dimensidimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan
pendidikan yang berwawasan lintas
budaya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dasar
pertimbangan yang melatari sangat pentingnya wawasan lintas budaya dalam bidang
pendidikan, terutama dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi yang sangat
pesat, yang antara lain ditandai dengan kecenderungan besar perubahan kehidupan
sebagai berikut. Pertama, kehidupan demokratisasi yang ditunjukkan dengan
kesadaran akan hak asasi yang semakin meningkat pada setiap lapisan masyarakat.
Kedua, transparansi sebagai dampak dari perkembangan jenis media dan informasi
yang semakin beragam, yang menuntut kemampuan memproses dan memproduksi secara
cerdas. Ketiga, efisiensi dalam pemanfaatan waktu yang menuntut manusia untuk
pandai membuat keputusan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
penaksiran serta penerimaan risiko dari setiap keputusan secara bertanggung
jawab.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSELING
LINTAS BUDAYA DAN PRAKTIK
A. Pengertian Konseling Lintas Budaya
Pengertian
Konseling Lintas Budaya Konseling lintas budaya yaitu suatu proses konseling
yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya dan dilakukan
dengan memperhatikan budaya subyek yang terlibat dalam konseling. Jika
konseling memperhatikan budaya, maka konseling semacam ini adalah pemaduan
partner secara meningkat dari budaya yang berbeda baik antara kelompok bangsa,
kelompok etnik, atau kelompok-kelompok yang peranan mereka secara budaya
dibedakan. Konsekuensinya adalah konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus
budaya dalam proses konseling dan dalam gaya konseling tertentu mereka,
sehingga mereka dapat menanganinya secara lebih terampil dengan variabel budaya
itu.[1]
Konseling
lintas budaya dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan.
Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang
sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilainilai, keyakinan,
perilaku dan lain sebagainya. perbedaan ini muncul karena antara konselor dan
klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya dapat terjadi
jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam
atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal
dari Ambon.[2]
Selain itu konseling lintas budaya tidak hanya terjadi pada suku yang berbeda
tetapi bisa jadi masih dalam satu suku yang sama. Seperti konselor dari Jawa
Tengah sedangkan kliennya berasal dari Yogyakarta, sama-sama bersuku Jawa,
namun berbeda provinsinya.
Prayitno
dan Erman Amti[3]
dengan mengutip hipotesis Pedersen dkk. menjelaskan bahwa dalam konseling
lintas budaya harus memperhatikan berbagai aspek dan seluk beluknya, yaitu:
1. Makin
besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling lintas budaya yang pada diri
klien dan konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.
2. Makin
besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dan
berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya,
makin besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.
3. Makin
besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi
tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku dalam konseling lintas
budaya, makin efektiflah konseling dengan klien tersebut.
4. Makin
bersifat personal dan penuh dengan nuansa emosional suasana konseling lintas
budaya, makin mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan
bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam
budayanya.
5. Keefektifan
konseling lintas budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses
komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya
komunikasi dalam budaya klien.
6. Latar
belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup
sehari-hari yang relevan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan
konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tersebut.
7. Makin
klien lintas budaya kurang memahami proses konseling, makin perlu konselor atau
program konselinglintas budaya memberikan pengarahan/pengajaran/latihan kepada
klien itu tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan
transfer (mempergunakan keterampilan tertentu pada situasi-situasi yang
berbeda).
8. Keefektifan
konseling lintas budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman (klien dan
konselor) tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya
dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.
Lanjut
Pedersen seperti dikutip oleh Sulistyarini & Mohammad Jauhar bahwa
konseling lintas budaya memiliki tiga elemen, yaitu:
a. Konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
b. Konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor;
c. Konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan melakukan
konseling di tempat yang berbeda pula.[4]
Sehingga
menurut kesimpulan pemakalah praktik konseling lintas budaya ini terjadi
pastilah dalam hal yang berbeda seperti proses konseling umumnya, baik itu
tempatnya, latar belakang budayanya dan posisi konselor dan konseli dalam suatu
masyarakat.
B. Pendekatan Konseling Lintas Budaya
Sedikitnya
ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya. Pertama, pendekatan
universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang
menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan
kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau
transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s
berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans
sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa
keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokan.[5]
Pendekatan
konseling trancultural mencakup komponen berikut.
1. Sensitivitas
konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling
yang digunakannya.
2. Pemahaman
konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3. Kemampuan
dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang
merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4. Kemampuan
konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-asumsi
yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:
·
Semua
kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan
konseling;
·
Kebanyakan
budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
·
Kelas dan jender
berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.
C. Model Konseling Lintas Budaya
Palmer
and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya,
yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical
model.
a. Model
Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer
and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan
individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur
menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme.
Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.
Pengajuan
model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework)
korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi
ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang
budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti
keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor
tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya
tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
Oleh
sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama
model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah
menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini
penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat
penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga
terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
b. Model
Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang
kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas
variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif,
yakni sebagai berikut :
1. Reaksi
terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
2. Pengaruh
budaya mayoritas (influence of the majority culture).
3. Pengaruh budaya tradisional (influence of
traditional culture).
4. Pengalaman
dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and
endowments).
Menurut
Jones pada kenyataannya sungguh sulit
untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang
menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang
tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah
colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilainilai budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling
ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang
dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
c. Model
Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model
etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam
perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat
konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog
terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini
menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model
dimensional sebagai kerangka pikirnya :
1. Konsepsi
sakit (sickness conception) Seseorang dikatakan sakit apa bila :
a. Melakukan
penyimpangan norma-norma budaya
b. Melanggar
batas-batas keyakinan agama dan berdosa
c. Melakukan
pelanggaran hukum d) Mengalami masalah interpersonal
2. Causal/healing
beliefs
a. Menjelaskan
model healing yang dilakukan dalam konseling
b. Mengembangkan
pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
c. Menjadikan
keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
d. Menunjukkan
bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (share) tentang keyakinan yang
sama
3. Kriteria
sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat
adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya. Artinya,
fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan
sosial dalam komunitasnya.
a. Mampu
menentukan sehat dan sakit
b. Memahami
permasalahan sesuai dengan konteks
c. Mampu
memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
d. Menyadari
dan memahami budayanya sendiri
4. Body
function beliefs
a. Perspektif
budaya berkembang dalam kerangka pikir pebih bermakna
b. Sosial
dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari
c. Muncul
intrapsikis yang efektif pada diri konseli
5. Health
practice efficacy beliefs
Ini merupakan
implemetasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-keyakinan yang
sehat dari konseli.
D. Karakteristik Konselor Lintas Budaya yang Efektif
Karakteristik
Konselor Lintas Budaya yang Efektif Karakteristik konselor yang melaksanakan
layanan konseling lintas budaya menurut Sue dalam George & Cristiani menyatakan.
Pertama:
konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan
asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan
praktik konseling lintas budaya seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai
sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai-nilai dan
norma-norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga.
Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapi memiliki
nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan dirinya. Karena itu, konselor
harus bisa menerima nilainilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
Kedua,konselor
lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. Konselor
dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah
dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap
kaidah konseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah
yang dihadapi oleh klien.
Ketiga,
konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan
tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat
proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai atau norma-norma
yang dimiliki oleh suku tertentu. Terlebih lagi, jika konselor melakukan
praktik konseling di Indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia memiliki kurang
lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai-nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan
memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik.
Keempat,
konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang klien untuk dapat
memahami budayanya (nilainilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada
aturan yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor memiliki kode etik
konseling yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan
kehendaknya kepada klien. Kelima, konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling
harus mempergunakan pendekatan eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu
pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan
dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini
dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup.[6]
E. Permasalahan Konseling Lintas Budaya
Sue
seperti dikutip oleh Jumarin mencatat
tiga hal yang menjadi sumber hambatan atau kegagalan layanan konseling lintas
budaya, yaitu:
1. Program
pendidikan dan latihan konselor; Umumnya program pendidikan/latihan konselor
(kurikulum, prosespembelajaran, dll.) mengacu pada budaya kelas menengah ras
kulit putih, sehingga para konselor kurang memiliki pemahaman, kesadaran,
keterampilan, dan pengalaman konseling yang memiliki budaya berbeda dengan
budaya barat (Eropa-Amerika).
2. Kesehatan
mental; Program pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor
yang cultural encapsulation, mereka memiliki pandangan monokultural tentang
kesehatan mental dan pandangan stereotipe yang negatif terhadap budaya
lain.Pandangan tentang sehat atau normal tidaknya suatu perilaku sangat
diwarnai oleh satu budaya (budaya barat, budaya kulit putih). Padahal setiap
budaya memiliki ukuran normal tidaknya suatu perilaku.
3. Praktek
konseling profesional selama ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
ilmiah, yang mengacu pada budaya empiristik, individualistik, kebebasan dan
sebagainya, dan kurang memperhatikan aspek-aspek budaya lain subyek yang
dilayani, sehingga sering terjadi ketidakefektifan, saling berlawanan,
ketidakcocokan dengan budaya klien.
Selanjutnya
dalam proses konseling lintas budaya konselor harus paham dan mengerti budaya
dari masing-masing klien, semisal klien dari suku Jawa, Madura, Bugis, Sunda,
dan sebagainya. Hal ini penting dilakukan sebagai salah satu bentuk antisipasi
ketika proses konseling berjalan. Apabila konselor sudah paham dan mengerti
siapa kliennya maka akan sangat membantu dalam proses konseling selanjutnya.
Masalah
lain yang mungkin timbul dalam proses konseling lintas budaya adalah apabila
antara konselor dan konseli terdapat perbedaan jenis kelamin berada dalam
ruangan tertutup. Seperti diketahui tidak semua agama memiliki persepsi yang
sama ketika ada lawan jenis sedang berduaan di suatu ruangan, karena ditakutkan
terjadinya fitnah. Apabila tidak ada kesepahaman antara konselor dan konseli
dalam masalah tersebut maka dapat menghambat proses konseling.[7]
Maka
menurut pemakalah haruslah ada keserasian dan saling memahamo antara konselor
dan konseli agar terciptanya proses konseling yang efektif dan efisien sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.
F.
Konseling Lintas Budaya Dalam
Praktik
Sampai sejauh ini, sebagian besar
perhatian kita curahkan untuk mencurahkan pertanyaan bagaimana memahami budaya
dan bagaimana mengembangkan apresiasi terhadap besarnya pengaruh budaya
terhadap cara orang menikmati dunia. Sekarang kita beralih kepada diskusi
berkenaan dengan bagaimana pengaplikasian pendekatan multibudaya dalam praktik.
Teknik dan strategi konsseling apa yang unik dari pendekatan ini. Firman MS
(2008) kebudayaan merupakan pola kehidupan bersama masyarakat yang bersifat
dinamis untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat indoneia yang majemuk mempunyai
berbagai budaya dan pola perilaku yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kebudayaan yang dibawa klien dari masyarakatnya akan membatasi serta
membolehkan mereka melakukan sesuatu yang dianggap pantas dan tidak pantas.
Kepantasan klien berperilakuditentukan oleh sistem milai budaya mereka
masing-masing. Sistem nilai yang telah dibangun oleh klien melalui proses
sosialisasi dengan lingkungannya, berfungsi mengontrol serta mengarahkan mereka
berperilaku. Kontak budaya, laju urbanisasi yang begitu cepat menimbulkan
dampak yang cukup serius disegala bidang kehidupan klien. Semua ini menuntut
untuk terlaksananya konseling lintas budaya diterapkan dalam mengatasi
permaslaahan yang dialami klien. Layanan konseling tidak dapat dilepaskan dari
kondisi sosial budaya klien itu sendiri. Sebelum layanan konseling diberikan,
para konselor diharapkan telah memahami berbagai kondisi sosial budaya klien.
Pemetaan permasalahan sertabkondisi sosial budaya klien sangat membantu
keefektifan memberikan layanan dan bimbingan yang dibutuhkan klien.
Dalam praktik sehari-hari, konselor
pastiakan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial dan
budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya.
Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai
atau perasaan-perasaan negartif lainnya. pertentangan, saling mencurigai atau
perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah
alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa
mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai yang selama ini dipegangnya. Jika
hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul
hambatan dalam konseling jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka
semua proses konseling akan dikategorikan sebagai konseling linta budaya. Hal
ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam
hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang sangat
prinsip.
Konselor dituntut untuk dapat bertindak
secara proaktif di dalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikan,
sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering turun untuk
mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami
kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambahkan khasanah
ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam
memahami klien.
Memahami manusia secara universal
mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ada yang
berlaku secara universal atau berlaku dimana saja kita berada. Nilai-nilai ini
diterima oleh semua masyarakat di sunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum
adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka.
Nilai-nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang.
Lebih lanjut, menurut Pederse dkk bahwa
beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1.
Latar
belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2.
Latar
belakang budaya yang dimiliki oleh konseli
3.
Asumsi-asumsi
terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling
4.
Nilai-nilai
yang mempengaruhi hubungan konseling (kesempatan dan hambatan yang berlatar
belakang tempat dimana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat
banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui
bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya
sendiri-sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari
lingkup dimana dia berasal, dan klien akan membawa seperangkat budaya yang
dibawa dari lingkungan dimana dia berasal.[8]
Dari tinjauan di atas maka menurut
pemakalah proses konseling lintas budaya ini amatlah menarik sebenarnya, karena
dapat menunjukkan toleransi antar suku dan latar belakang budaya yang berbeda
sehingga dapat menimbulkan rasa keharmonisan antar sesama konselor dan konseli
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penerapan konseling
lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka dan tanggap terhadap
adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara kelompok klien yang
satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan
kliennya. Konselor sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses
konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menibulkan masalah dalam interaksi
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi
dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan
unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada
di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada disekitar
individu.
Kebudayaan
sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea tau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan konsleing lintas budaya merupakan proses pemberian
bantuan yang mana antara konselor dengan klien memiliki latar belakang budaya
yang berbeda, seperti nilai-nilai, kepercayaan, dan lain-lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Bakar M Luddin. 2010. Dasar-Dasar
Konseling: Tinjauan Teori dan Praktik. Bandung: Citapustaka Media Perintis
Jumarin. 2002. Dasar-Dasar
Konseling Lintas-Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Palmer, Stephen & Laungani,
Pittu. 2008. Counseling in a
Multicultural Society. London : Sage
Publisher
Prayitno & Erman Amti. 1999. Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dan PT Rineka Cipta
Sulistyarini & Mohammad Jauhar.
2014. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Prestasi Pustaka
[1] Jumarin,
Dasar-Dasar Konseling Lintas-Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.
29-30
[2]Sulistyarini
& Mohammad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling, (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2014), h. 273
[3]Prayitno &
Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Rineka Cipta, 1999)
[4]Sulistyarini
& Mohammad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling, h. 276-277
[5]Palmer, Stephen
& Laungani, Pittu. Counseling in a
Multicultural Society. (London : Sage
Publisher, 2008) h, 105
[6]Luddin, Abu
Bakar M. Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan
Teori dan Praktik, (Bandung: Citapustaka Media Perintis. 2010), h. 135-137
[7]Jumarin,
Dasar-Dasar Konseling Lintas-Budaya, h.
43-44
[8] Abu Bakar M. Luddin,
Dasar-Dasar Konseling Tinjauan Teori Dan Praktik. H. 114-120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar