BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah
adalah bagian dari anjuran islam. Orang yang menikah tentunya telah menjalankan
syariat islam, menghindari dari perzinahan, dan tentunya memiliki peluang
mendapatkan pahala dari usaha dan perjuangannya untuk membangun keluarga yang
sakinah mawaddah dan rahmah. Tentu saja hal ini adalah keinginan dari setiap
orang.
Tetapi
masih banyak yang terjadi di masyarakat yang menikah atas dasar paksaan dari
orang tua maupun hal lain, misalnya karena terlilit hutang, atau karena pihak
laki-laki kurang memenuhi syarat untuk menikahi si perempuan, Hal itulah yang
menyebabkan si Anak bertekat untuk melakukan kawin lari dengan pasangannya. Dalam
hal ini kami membahas tentang kawin lari pada suku melayu.
Menurut
KBBI kawin lari adalah cara melarikan gadis yang akan dikawininya dengan
persetujuan gadis itu untuk menghindarkan diri dari tata cara adat yang
dianggap berlarut-larut dan memakan biaya yang terlalu mahal, sedangkan menurut
para ahli kawin lari sebagai berikut :
Ter
Haar berpendapat bawa perkawinan bawa lari (Schook Huwelijik) adalah
kadang-kadang lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau
dikawinkan dengan orang lain, terkadang-kadan membawa lari dengan paksa.
Kawin
lari adalah bentuk perkawinan yang terjadi apabila bakal si jodoh lari bersama
dengan tiada peminangan atau pertunangan yang diistilakan dengan weglopwelijik
of vucwelkijk yang artinya kawin lari atau melarikan diri.
Berdasarkan
dari pendapat di atas, dapat diartikan bahwa kawin lari adalah suatu bentuk
perkawinan yang dilakukan tanpa didahului peminangan atau pertunangan secara
resmi /formal. Lebih lanjut di jelaskan oleh (Hilman Hadikusuma, 1993: 34)
menyatakan bahwa terjadinya kawin lari tidak saja dilakukan bujang terhadap
gadis, tetapi ada juga yang sedang dalam ikatan perkawinan atau sudah pernah
kawin.
Cara
perkawinan semacam ini banyak terjadi pada masyarakat yang menganut garis
kekeluargaan patrilineal yaitu menarik garis keturunan ke atas melalui garis
bapak. Pada umumnya yang menjadikan alasan dilakukannya cara perkawinan seperti
ini adalah untuk membebaskan diri dari bermacam-macam kewajiban yang harus
dipenuhi dalam perkawinan yang dilakukan dengan lamaran dan pertunangan,
misalnya memberi piningset pada pihak calon istri.
Sebenarnya
terjadinya kasus kawin lari terhadap masyarakat pada umumnya, bukanlah atas
kehendak mereka yang sebenarnya, melainkan mereka menginginkan perkawinannya
direstui orang tua dan keluarga dengan dilaksanakan menurut adat, ketentuan
agama dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi karena adanya
faktor-faktor penghambat dilangsungkannya perkawinan yang diawali dengan cara
melamar atau meminang, maka mereka nekat untuk mengawali perkawinannya dengan
cara kawin lari.
Dalam
hal ini kami melakukan sebuah observasi terhadap suku melayu tentang “KAWIN
LARI” dengan tujuan mengetahui pandangan suku melayu terhadap kawin lari. Hal
ini yang menjadi fokus observasi kami.
B.
Identifikasi
Masalah
Adapun
identifikasi masalah ini yaitu :
1. Orang
Tua Yang Tidak merestui Pernikahan Anaknya
2. Faktor
Ekonomi yang menjadi penghalang Pihak yang bersangkutan
3. Pandangan
Suku Melayu Terhadap kawin Lari
C.
Rumusan
Masalah
Dari
identifikasi masalah diatas kami membatasirumusan masalah tentang
‘Apakah
pandangan suku melayu terhadap Kawin Lari”
D.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
Mengenal Adat Suku melayu
2. Untuk
Mengetahui Adat Istiadat pernikah Suku Melayu
3. Mencari
tahu bagaimana pandangan suku melayu terhadap Kawin Lari
E.
Manfaat
Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
1) Agar
Orang Tua Bisa lebih Bijak dalam mengambil keputusan untuk anak-anaknya.
2) Supaya
dapat menjaga adat istiadat yang ada di suku melayu
3) Agar
memebrikan bahan pengetahuan untuk masyarakat dalam memperkaya pengetahuan
keagamaan khusuusnya dalam bidang perkawinan
BAB II
ISI
A. Suku Melayu
Keanekaragaman suku bangsa dengan
budayanya di seluruh Indonseia merupakan kekayaan bangsa yang pelu mendapat
perhtian khusus. Kekayaan ini mencakup wujud-wujud kebudayaan yang didukung
oleh masyarakatnya.[1]
Melayu merupakan sebutan untuk
sejumlah kelompok sosial di beberapa negara Asia Tenggara, yang dalam beberapa
aspek kebudayaannya menunjukkan ciri-ciri persamaan. Di Indonesia, yang
menyebut dirinya sebagai suku bangsa Melayu adalah kelompok sosial yang berada
di Bangka dan Belitung, Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan beberapa daerah
lainnya.
Suku bangsa Melayu adalah salah satu
dari sejumlah suku bangsa yang ada di Indonesia. Melayu mempunyai tiga
pengertian. Pertama, Melayu dalam pengertian “ras” diantara berbagai ras
lainnya. Orang-orang yang termasuk dalam kategori ras Melayu ini berkulit
coklat. Ada teori yang mengatakan bahwa ras ini merupakan campuran antara
Mongol yang berkulit kuning, Dravida yang berkulit hitam dan Arian yang berkulit
putih. Kedua, Melayu dalam pengertian “suku bangsa” ini terjadi karena
perkembangan sejarah dan perubahan politik yang pada gilirannya membuat Melayu
terbagi kedalam beberapa negara Nasional, seperti Indonesia, Malaysia,
Singapura, Brunai dan Filipina. Melayu disini diartikan sebagai bagian dari
suku bangsa. Untuk diketahui, pengertian suku bangsa tidak sama dengan di
Malaysia dan Singapura. Di Indonesia yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu
adalah yang mempunyai adat istiadat Melayu, bermukim terutama di sepanjang
pantai Timur Sumatera, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Ketiga, adalah
Melayu dalam pengertian suku, yaitu sub-sub dari suku bangsa Melayu yang kami
maksudkan dalam tulisan ini adalah melayu sebagai suku bangsa sebagaimana
dikemukakan oleh Muchtar Lutfi (arti yang kedua). Khususnya lagi suku bangsa
Melayu yang berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu dan beragama Islam serta
bermukim di Pangkal Pinang. Menurut Ibrahim (2004), suku bangsa Melayu yang
berada di Pangkal Pinang dimungkinkan masuknya melalui dua jalur yaitu
semenanjung Melayu, masuk ke Sumatera, Jawa, lalu Kalimantan, sedangkan jalur
kedua melalui Filipina yang masuk ke sulawesi.[2]
Yang dimaksud dengan suku bangsa
Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam perbauran ikatan
perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu secara
sadar dan berlanjutan[3]
Istilah Melayu berasal
dari bahasa Sanskerta yang dikenal sebagai Malaya, yaitu sebuah kawasan yang
dikenali sebagai daratan yang dikelilingi oleh lautan Kelompok ras Melayu dapat
digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang
mendiami Gugusan Kepuluan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Gathercole seorang
pakar antropologi Inggeris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik dan
etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah golongan pelaut
yang pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia. Ia menggambarkan
bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan pada suatu
masa dahulu, yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke
Madagaskar, di sebelah timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara
hingga ke Hawaii dan di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.
Melayu dikaitkan dengan beberapa perkara
seperti sistem ekonomi, politik, dan juga budaya. Dari sudut ekonomi,
Melayu-Polinesia adalah masyarakat yang mengamalkan tradisi pertanian dan
perikanan yang masih kekal hingga hari ini. Dari sudut ekonomi, orang Melayu
adalah golongan pelaut dan pedagang yang pernah menjadi kuasa dominan di Lautan
Hindia dan Pasifik sebelum kedatangan kuasa Eropa.
Dari segi politik pula,
sistem kerajaan Melayu berasaskan pemerintahan beraja bermula di Campa dan
Funan, yaitu di Kamboja dan Selatan Vietnam pada awal abad Masehi. Dari
kerajaan Melayu tua ini telah berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra
dan di sepanjang pantai timur Tanah Melayu, termasuk Kelantan dan Terengganu.
Kerajaan Melayu Segenting Kra ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka
kemudian menjadi Pattani[4].
Untuk menentukan
kawasan kebudayaan Melayu dua perkara menjadi kriteria penjelasan, yaitu
kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia Melayu tidak terbatas kepada Asia
Tenggara saja, namun meliputi kawasan di sebelah barat meragkumi Lautan Hindia
ke Malagasi dan pantai timur benua Afrika; di sebelah timur merangkumi Gugusan
Kepulauan Melayu-Mikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira 103.6
kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi Selandia Baru; dan
di sebelah utara melingkupi kepulauan Taiwan dan Hokkaido, Jepang [5].
B. Pernikahan Adat Di Suku Melayu
Pernikahan
merupakan suatu upacara penyatuan dua insan dalam sebuah ikatan yang diresmikan
secara norma agama, adat, hukum, dan sosial. Adanya beragam suku bangsa, agama,
budaya serta kelas sosial menimbulkan bervariasinya upacara pernikahan.
Pernikahan merupakan fase penting dalam kehidupan yang dilalui manusia yang
bernilai sakral. Oleh karena itu, orang sangat memperhatikan dan memikirkan
setiap proses-proses yang akan dilalui.
Menurut
ajaran islam, sebenarnya tahapan upacara pernikahan tidaklah rumit dan
memberatkan. Pernikahan dikatakan sah asalkan sesuai dengan syarat-syarat dan
rukun-rukunnya. Namun jika mengikut adat akan terlihat sedikit rumit karena
banyaknya tahapan-tahapan yang harus dilalui. Namun hal tersebut sah-sah saja
karena adat melayu tetap berpegang teguh pada ajaran agama Islam seperti dalam
istilah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Tahapan-tahapan
yang dilalui menurut adat melayu Riau dibagi menjadi 3 yaitu: prosesi sebelum
perkawinan, prosesi persiapan perkawinan dan prosesi setelah perkawinan.[6]
Adat
prosesi sebelum perkawinan ini menjelaskan perihal perkawinan ideal dan
pembatasan jodoh, bentuk-bentuk perkawinan, syarat-syarat untuk kawin, dan cara
memilih jodoh. Secara umum, terdapat 4 tahapan yang harus dilalui dalam prosesi
ini:
1. Merisik
Merisik
merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam proses perkawinan yang bertujuan
untuk menyelidiki tentang keberadaan seorang calon pengantin yang dilakukan
oleh pihak laki-laki. Hal ini dikarenakan zaman dulu pergaulan pria dan wanita
dibatasi oleh adat budaya tidak seperti saat ini yang terlalu terbuka dan
hampir tanpa batas. Jadi, jika seorang pemuda merasa tertarik akan seorang
gadis, maka ia akan menyampaikan kepada kedua orang tuanya dan segala urusannya
diserahkan pada mereka. Merisik bisa dilakukan oleh orang tua laki-laki
tersebut atau dengan mengirim orang yang dipercaya sebagai utusan untuk mencari
informasi tentang calon istri berkaitan dengan latar belakang, kemampuannya
mengurus rumah tangga, kesuciannya, kepribadiannya, serta pergaulannya dengan
orangtua, tetangga, dan masyarakat. Hal yang terpenting untuk ditanyakan adalah
apakah si gadis sudah dipinang orang atau sudah terikat janji dengan orang
lain. Jika sudah, maka kedatangan pihak laki-laki dianggap hanya untuk
bersilaturrahmi.
2. Meminang
Setelah
diketahui bahwa si gadis belum memiliki ikatan dengan laki-laki lain dan telah
disepakati bahwa pihak laki-laki berkenan untuk menjodohkan anak laki-lakinya
dengan si gadis, maka dilakukan ke tahapan selanjutnya yaitu, meminang.
Kemudian pihak laki-laki akan meberitahukan tentang kedatangan utusannya untuk
melakukan peminangan dan pihak wanita menunggu sambil melakukan beberapa
persiapan seperti tepak sirih sebagai pertanda hati ikhlas menanti dan
mengharapkan perundingan berjalan lancar. Utusan terdiri dari beberapa orang
yang dituakan dan seseorang juru bicara untuk menyampaikan maskud dan tujuan
kedatangannya yang dijawab oleh pihak wanita. Jawaban bisa diberikan langsung
saat peminangan namun adakalanya pihak perempuan meminta waktu beberapa hari
untuk menjawabnya dikarenakan mereka ingin bermufakat terlebih dahulu dengan
keluarga.
3. Mengantar Tanda
Tahapan
berikutnya yang harus dilewati setelah didapat jawaban diterimanya pinangan
tersebut adalah mengantar tanda yang merupakan suatu ikatan janji diantara
kedua calon pengantin. Tanda ini hakekatnya menjadi wujud dari persetujuan
penerimaan pinangan dan sebagai pengikat bagi kedua belah pihak. Waktu
pelaksanaannya berdasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak. Dalam acara
antar tanda ini, hanya pihak laki-laki yang membawa sebuah cincin emas belah
rotan dengan ukuran sesuai dengan tingkat sosialnya. Setelah prosesi antar
tanda selesai dapat disimpulkan tentang berapa besarnya uang antaran dan hari
langsung maka prosesi berikutnya adalah mengantar belanja.[7]
4. Mengantar Belanja
Prosesi
antar belanja pada hakikatnya merupakan kedatangan utusan pihak keluarga calon
pengantin laki-laki untuk menyerahkan uang belanja sebagai lambang
gotong-royong dan kebersamaan untuk membantu pihak perempuan dalam melaksanakan
perhelatan perkawinan kedua anak mereka yang besarnya disesuaikan dengan
kemampuan calon pengantin laki-laki. Uang ini merupakan uang yang diberikan
secara ikhlas oleh pihak laki-laki dan diterima secara sukarela oleh pihak
perempuan. Jadi tidak dibenarkan pihak laki-laki untuk mengungkit-ungkitnya di
kemudian hari.
Biasanya,
dalam prosesi mengantar belanja, selain memberikan uang juga dilengkapi dengan
bahan pengiring lainnya berupa barang-barang keperluan calon pengantin wanita
yang juga disesuaikan dengan kesanggupan pihak lelaki. Barang-barang tersebut
berupa: bahan pakaian kebaya dari kain tenun atau bahan lainnya, seperangkat
alat shalat, tas, sandal, sepatu, handuk, selimut, pakaian dalam, peralatan
berhias dan mandi, dan disertai bunga rampai.
Uang
hantaran tersebut sering dibuat kreasi berbagai bentuk seperti bunga, kapal
layar dll. Sedangkan bahan-bahan pengiringnya pun disusun sedemikian rupa
sehingga terlihat cantik sesuai kreasi masing-masing. Penyampaiannya dilakukan
oleh seorang juru bicara dari masing-masing pihak dengan saling berbalas pantun
yang diawali dengan tukar menukar tepak sirih yang berisi lengkap, sebagai
tanda kesucian hati dari kedua belah pihak. Kemudian juru bicara menyebutkan
satu persatu apa-apa yang diserahkan dan sekaligus menetapkan hari pernikahan.
Maksud yang terkandung dari pelaksanaan upacara mengantar belanja ini adalah
sebagai tanda tanggung jawab dan rasa kebersamaan dari pihak lelaki, terutama
sebagai i’tikad dalam membina rumah tangga bahagia, rukun damai, sakinah,
mawaddah warahmah. Disini tertanam sifat kegotong royongan.
Kemudian
prosesi selanjutnya adalah prosesi upacara perkawinan yang menjelaskan menjelaskan
tentang persiapan sebelum pesta perkawinan hingga pelaksanaan hari pesta
perkawinan. Dalam prosesi ini ada beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1. Menggantung (Hari Menggantung)
Menggantung
merupakan suatu pertanda bahwa perhelatan pernikahan akan segera dilangsungkan.
Disini, mak andam menghias rumah dengan memasang gerai pelaminan di rumah
pengantin perempuan. Pemasangannya dilakukan dengan cara menggantungkan
hiasan-hiasan pelaminan serta tabir yang berwarna mera, kuning dan hijau. Oleh
karena itu disebut hari menggantung. Biasanya mak andam akan dibantu oleh
anak-anak muda laki-laki dan perempuan serta didampingi perempuan setengah baya
yang dilakukan lima atau tujuh hari menjelang hari pernikahan.
Dimulai
dengan memasang pentas pelaminan, kemudian diberi tepung tawar dan dilanjutkan
dengan pemasangan hiasan berupa tabir belang yang digantung pada 4 sisi
pelaminan dan dilengkapi tabir gulung dan tabir jatuh serta tabir perias yang
dipasang pada bagian atas tabir belang. Warna tabir belang diatur dimulai dari
kuning, hijau dan merah.
2. Berinai Curi
Kegiatan
berinai curi dilakukan pada malam hari kepada kedua calon pengantin sekitar 1
atau 2 hari menjelang pernikahan yang dipersiapkan oleh mak andam. Disebut
berinai curi karena peralatan berinai untuk mempelai pria diambil secara
diam-diam(dicuri) dari rumah mempelai wanita pada malam hari.
Berinai
memiliki bermacam-macam makna seperti: untuk menolak bala, melindungi pengantin
dari segala kejahatan dan membuat paras pengantin makin berseri dan bercahaya.
Pemakaian inai di tangan dan di kuku, warna merahnya sebagai pemanis dan
penolak bala sehingga pengantin terhindar dari gangguan makhluk-makhluk halus.
Inai ditelapak tangan sebagai penjaga diri, sedangkan di telapak kaki sebagai
tanda tak boleh berjalan jauh. Untuk pemakaian di sekeliling telapak tangan dan
kaki bermakna sebagai pembangkit seri.
Adapun
kelengkapan berinai sebagai berikut:
·
Tepak
sirih berisi sirih lengkap.
·
Inai yang
sudah digiling halus secukupnya
·
Lilin
lebah untuk menutup kuku (dihias/dibentuk)
·
Bedak
sejuk.
·
Kain Lap/serbet
/kertas tisu.
·
Lilin
untuk dinyalakan.
·
Sabun
mandi
·
Seutuhnya
ditata dalam piring beralas serbet.
3. Berandam
Upacara
Berandam merupakan kegiatan mencukur bulu roma diwajah sekaligus membersihkan
muka, membentuk alis, dan anak rambut dibagian muka dan di belakang tengkuk.
Makna yang terkandung dalam upacara berandam ini tiada lain adalah untuk
pembentukkan keindahan lahiriah guna perwujudan kecantikan bathiniahnya serta
sebagai lambang persiapan diri calon pengantin perempuan untuk menjadi seorang
perempuan yang sempurna lahir batinnya, dan siap menjadi ibu rumah tangga
sejati. Kegiatan ini dilakukan pada pagi hari sehari sesudah berinai curi
terhadap pengantin perempuan yang dilaksanakan di rumah pengantin perempuan
dan dihadiri oleh semua keluarga terdekat serta dipimpin oleh Mak
Andam. Dilakukan pada pagi hari dengan maksud mengambil seri dari matahari pagi
sepenggalahan agar pengantin selalu bercahaya dan cerah secerah matahari pagi.
4. Akad Nikah
Setelah
berbagai prosesi adat telah dilalui oleh kedua mempelai, tibalah pada upacara
yang paling sakral yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan dimana seorang
ayah melepaskan tanggung jawab terhadap anak perempuannya kepada seorang
perjaka yang akan menjadi suami yaitu Upacara Akad nikah atau Ijab Kabul. Ijab
merupakan kata-kata penyerahan dari si ayah sedangkan Kabul merupakan jawaban
dari mempelai pria yang dilakukan dirumah pengantin wanita pada malam hari
setelah sholat Isya dihadapan Penghulu Nikah dan saksi-saksi sesuai hukum
syarak. Biasanya acara ini cukup mengharukan karena dengan adanya acara ini dia
akan berpindah dari rumah orang tuanya .
Setelah
Ijab Kabul dilanjutkan dengan pengantin lelaki menyembah orng tua pengantin
wanita dan orang tua-tua yang patut menurut adat dan lembaganya. Pada
acara penyembahan ini terkandung makna untuk memohon keampunan dari kedua orang
tua dan keikhlasan menerima kehadiran anak menantunya kedalam keluarga mereka.
Seterusnya
setelah akad nikah maka si pengantin mestilah:
1. Tahu akan beban yang
menanti
2. Tahu akan apa yang menunggu
3. Tahu hidup memegang wakil
4. Tahu alur dengan patutnya
5. Tahu akan salah dan silih
6. Tahu akan fungsi dan tugas
suami istri
7.
Tahu pula tempat tegaknya isteri.
5.
Berinai
Lebai
Setelah
kedua mempelai menyembah kedua orang tua mereka sesudah akad nikah, maka
selanjutnya kedua pengantin didudukkan diatas pelaminan untuk dilakukan upacara
tepuk tepung tawar. Pada saat ini kedua pengantin ini disandingkan dengan
alasan menghemat waktu dan mereka telah syah dipertemukan. Pada acara tepuk
tepung tawar ini dilakukan pula berinai ditelapak tangan yang disaksikan oleh
orang ramai dan dihadiri oleh ulama sehingga acara ini disebut juga sebagai
“Berinai Lebai”. Tepuk tepung tawar ini dilakukan oleh orang tua-tua atau yang
dituakan dikalangan keluarga maupun dimasyarakat dengan jumlah yang ganjil
sesuai dengan tingkat sosialnya dalam masyarakat dan sipenepuk yang terakhir
diharuskan memimpin pembacaan do’a.
Adapun
tingkat sosial kehidupan dimasyarakat yang ditemui dulunya adalah :
a. Tingkat Sultan: 9 orang
b. Tingkat keluarga Sultan (Tengku/syed): 7 oran
c. ingkat Datuk-datuk/Encik-encik/wan: 5 orang
d. Tingkat Masyarakat Awam: 3 orang
Setelah
selesai upacara akad nikah dan tepuk tepung tawar (berinai lebai), maka
dilanjutkan dengan acara makan bersama. Kemudian, pengantin pria beserta
rombongan keluarganya kembali ke rumahnya untuk bersiap-siap menunggu untuk
acara selanjutnya yaitu hari langsung/bersanding pada esok harinya.[8]
6. Upacara Khatam Al-Qur’an
Bagi
setiap anak dara yang telah siap untuk berumah tangga, ia diharuskan untuk
memiliki bekal tentang pengetahuan agama agar dalam mengarungi rumah tangganya
kelak memiliki pondasi yang kuat. Maka dari itu dilakukanlah upacara Khatam Al
Qur’an sebagai lambang bahwa anak dara tersebut telah menamatkan pembelajaran
mengaji kitab suci Al Qur’an sehingga di rumah tangganya nanti memiliki tempat
mengadu dan menganggungkan kebesaran Tuhannya. Upacara ini juga menandakan
persebatian antara adat budaya Melayu dengan agama Islam. Acara ini dilakukan
sehari setelah akad nikah pada pagi hari jam 08.00 pagi sampai jam 10.00 yang
dilakukan di rumah pengantin wanita, kadang diikuti oleh adik-adiknya. Khatam
Al-Qur’an dipimpin oleh guru mengaji pengantin perempuan dan dihadiri oleh kaum
perempuan saja. Hal ini terjadi karena memang ada pemisahan antara laki-laki
dan perempuan. Setelah selesai khatam Al-Qur’an dilanjutkan dengan berzanji dan
marhaban yang pelaksanaannya adalah kaum perempuan semua. Berkhatam Al-qur’an
juga menunjukkan kuatnya keimanan seseorang atau keluarga yang mengasuhnya
sejak dari kecil lagi.
Hal ini
terlihat dalam ungkapan adat yang berbunyi :
Kalau duduk suruh mengaji
Kalau tegak suruh sembahyang
Kemudian
ditemui pula dalam pantun nasihat :
Dari
kecil Cilcilak Padi
Sudah
besar Cilcilak Padang
Dari
kecil duduk mengaji
Sudah
besar tegak sembahyang
7. Hari Berlangsung (Hari Bersanding)
Kemudian,
tibalah pada acara yang paling dinanti-nantikan oleh kedua mempelai setelah
mereka berstatus sah sebagai suami istri, yaitu hari langsung atau disebut juga
hari bersanding di mana pengantin pria diarak dari rumahnya menuju kerumah
pengantin wanita untuk disandingkan di pelaminan. Acara tersebut dilaksanakan
setelah shalat Zuhur yang dimulai lebih kurang jam 13.00 Wib siang. Upacara ini
dilaksanakan secara besar-besaran di rumah pengantin perempuan dan mengundang
seluruh sanak saudara, handai taulan, kaum kerabat jauh dan dekat. Setelah
shalat zuhur pengantin perempuan didudukkan diatas pelaminan sambil menunggu
ketibaan pengantin laki-laki yang didampngi oleh dua anak dara yang bertugas
mengipas pengantin. Sedangkan mak andam menanti ketibaan pengantin laki-laki di
muka pintu rumah sambil memegang beberapa kantong uang untuk persiapan adanya
upacara buka pintu. Pengantin lelaki mempersiapkan diri dengan berpakaian baju
Melayu Cekak Musang dari tenunan Siak. Di jari kelingking serta ibu jari
dipakai canggai sedangkan di kepala dipakai yang dinamakan perkakas andam
(Desto/Destar) atau tanjak/tengkolok dari tenunan Siak.
8. Makan bersuap (Makan Berhadap)
Setelah
kedua mempelai selesai bersanding, kemudian mak andam membawa pengantin turun
dari mempelai untuk melakukan upacara makan bersuap-suapan atau makan berhadap
di hadapan orang tua pihak pengantin perempuan dan pengantin laki-laki dan para
jemputan. Mak andam mengambil piring untuk kedua pengantin dan memasukkan nasi
dan lauk pauknya dan mengambil tangan pengantin perempuan untuk menjemput nasi
sesuap yang disuapkan kepada pengantin laki-laki, demikian sebaliknya. Prosesi
ini sebagai simbol kesetiaan, kecintaan, dan pengabdian istri kepada suami.
Setelah selesai acara bersuap antara kedua pengantin, maka dilanjutkan makan
bersama semua tamu jemputan.
Kemudian
prosesi yang terakhir adalah prosesi setelah perkawinan yang mengatur tentang
adat menetap sesudah kawin, adat mengenai perceraian dan kawin ulang, hukum
waris, poligami, hal anak, dan hubungan kekerabatan antara menantu dengan
keluarga istri atau suami dengan melalui beberapa tahap yaitu:
1. Mandi Damai (Mandi Taman)
Setelah
pengantin menyelesaikan berbagai prosesi pernikahan hingga selesainya upacara
bersanding, maka esok harinya dilakukanlah prosesi selanjutnya yaitu Mandi
damai atau mandi taman. Kedua pengantin dimandikan menggunakan air tolak bala
yang dicampur dengan bunga-bunga tertentu. Acara ini pada hakekatnya
mencerminkan rasa syukur kepada Allah yang telah memberi berkat selama acara
berlangsung dan rasa terimakasih pula kepada kaum kerabat handai taulan atas
terlaksananya serta berlangsungnya upacara perkawinan ini dengan selamat. Kedua
pengantin telah bersatu menjadi suami istri dan selaras dengan adat istiada
Melayu serta sunah Rasul dan ajaran Islam dengan pedoman Al-Qur’an.
2. Mengantuk dan Mengasah Gigi
Setelah
selesai upacara mandi damai, mak andam membawa kedua pengantin masuk ke dalam
rumah untuk mengeringkan badan dan berpakaian lengkap. Setelah itu, mereka
dibawa oleh mak andam keluar dari dalam bilik peraduan dan didudukan diatas
gerai pelaminan untuk dilaksanakan upacara mengantuk dan mengasah gigi kedua
pengantin. Alat-alat yang diperlukan upacara ini adalah satu buah batu asah,
sebuah telur ayam dan sebentuk cincin emas dan sebuah kikir yang diletakkan di
dalam sebuah mangkok atau piring yang ditempatkan di sebelah kiri pengantin
seperti melaksanakan upacara tepung tawar. Menurut adat, mengasah gigi hanya
diperbolehkan untuk bujang dan gadis yang telah menikah yang dilakukan oleh
orang tua-tua dan kaum kerabat baik laki-laki maupun perempuan yang dihimbau
secara bergantian dengan bilangan ganjil. Cara pelaksanaanya ialah orang tua yang
dipanggil atau dihimbau tadi naik ke gerai pelaminan mengambil telur ayam yang
telah disediakan mengantuk telur tersebut ke gigi kedua pengantin, kemudian
diambil cincin emas juga dilaksanakan sama dan diambil lagi batu asah atau
kikir digoreskan kedua gigi pengantin laki-laki dan perempuan itu demikian
seterusnya dilaksanakan secara bergantian oleh orang tua yang dimintakan untuk
melaksanakan upacara ini.
3. Menyembah Kedua Orang Tua dan Keluarga
Acara
menyembah kedua orang tua dan keluarga merupakan acara yang bermaksud untuk
memohon ampun kepada kedua orang tua pengantin dan juga memohon restu mereka
agar dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka selalu diberikan keselamatan
dna kesejahteraan hingga ke hari depan selalu dipenuhi kebahagiaan. Pengantin laki-laki
dan pengantin perempuan dibimbing oleh mak andam menghadap dan menyembah kedua
orang tua pengantin perempuan terlebih dahulu dan kemudian diteruskan dengan
kedua orang tua pengantin laki-laki, dilanjutkan kepada mak dan ayah saudara
dari kedua pengantin serta kakak-kakak, abang-abang dan kaum kerabat yang hadir
di upacara tersebut.
4. Makan Nasi Damai
Makan
nasi damai bermaksud agar selama bergaul maupun selama berlangsungnya
perhelatan pernikahan antara sesama keluarga, baik pihak laki-laki maupun pihak
perempuan mungkin terdapat saling salah paham baik yang disengaja maupun tidak,
maka saat itulah semuanya dapat dilupakan dan terhindar dari berbagai sengketa
dikemudian hari. Antara kedua belah pihak, mungkin ada hal-hal yang kurang
berkenan di hati, yang tersalah cakap, yang salah ditempatkan, yang salah
didulukan dan dikebelakangkan dan yang salah didudukan tidak pada tempatnya,
atau ada kata-kata yang tidak layak diucapkan maupun yang didengar dan
sebagainya, maka makan nasi damai inilah untuk penghilang hal-hal salah
pengertian tersebut sehingga kehidupan baru berumah tangga bagi pengantin tidak
membawa onak dan duri yang nantinya menjadi penyebab atas
kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam perahu kehidupannya.
5. Malam Mengunjung Mertua
Menurut
adat Melayu, setelah melangsungkan upacara pernikahan, pengantin pria akan
bertempat tinggal dirumah pengantin perempuan, sehingga dilakukanlah prosesi
yang terakhir setelah semua acara resmi dari perhelatan perkawinan selesai
yaitu malam mengunjungi mertua atau menjelang mertua. Pengantin perempuan
bersama suaminya dan kaum kerabat pengantin perempuan pergi menjelang mertua
atau berkunjung ke rumah orang tua suaminya pada malam hari selepas shalat
maghrib. Upacara ini bukan saja dilaksanakan kedua mertua pengantin laki-laki
saja namun juga dilaksanakan kepada bapak saudara kedua pengantin serta anak
saudara yang patut-patut. Biasanya dalam adat istiadat Melayu kunjungan atau
kedatangan kedua pengantin ini bagi orang tua yang dikunjungi memberikan
nasehat dan tunjuk ajar serta memberi pula cenderamata kepada sepangsang
pengantin.[9]
C. Adat
Perkawinan Suku Melayu
Dari
sudut bahasa pula, Melayu memiliki ciriciri persamaan dengan rumpun keluarga
bahasa Melayu-Austronesia (menurut istilah arkeologi) atau keluarga Melayu-Polinesia (menurut istilah
linguisik). Demikian pula keberadaan masyarakat Melayu di
Sumatera Utara, mereka menyadari bahwa mereka adalah berada di negara
Indonesia, menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa saling memiliki
kebudayaan Melayu. Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan masyarakat
Melayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan tadi. Secara budaya, baik
bahasa dan kawasan, memiliki alur budaya yang sama, namun tetap memiliki
varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya
Melayu. Secara geopolitik, Dunia Melayu umumnya dihubungkan dengan
negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan alur utama budaya
Melayu, di antaranya adalah: Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Selatan
Thailand, Selatan Filipina, sebahagian etnik Melayu di Kamboja dan Vietnam, dan
lain-lain tempat. Berikut ini akan dihuraikan beberapa kawasan tersebut,
terutama yang memiliki hubungan kebudayaan dengan etnik Melayu yang ada di
Sumatera Utara.
Pada
Masyarakat Melayu dikenal beberapa adat perkawinan. Adanya beberapa adat
perkawinan ini terbentuk karena kebudayaan daerah setempat. Beberapa adat
Perkawinan tersebut adalah :
1. Kawin
Semando
Kawin
semando adalah adat perkawinan berupa materialchat, yang berarti garis keturunan
menurut pihak Ibu. Jalinan hubungan kekeluargaan timbal balik antara persukuan
mempererat hubungan perkauman yang dinamakan semando menyemando[10]
( Said, 2006 : 335). Adat perkawinan Semando dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
- Adat Semando Ketemanggungan : Raja menikah sama derajat (Patriakat) , Raja menikah dengan anak raja-raja atau Suku Non Tujuh atau Suku Mandahiling.
- Adat Semando Perpatih Nan Sebatang : Yaitu adat perkawinan antara Suku Andiko dengan Suku Andiko (matriakat), Laki-laki Suku Mandahiling dengan wanita Suku Non Tujuh (Matriakat).
2. Kawin
Menjujur/Jujuran
Selain adat kawin semondo, ada pula adat
perkawinan Jujuran. Adat perkawinan Jujuran ini terkhusus antara wanita (boru)
asal Mandahiling (Tapanuli Selatan) dengan laki-laki melayu. Si wanita dibawa
dari asal tempatnya dan perkawinan berlangsung di rumah laki-laki (pihak
Melayu) dan untuk selamanya menetap di rumah laki-laki. Adapun si wanita asal
mandahiling yang telah meninggalkan rumah dan keluarganya itu berarti telah
dilepas sepanjang adat untuk selama-lamanya dari lingkungan keluarganya.
Pengisian
adatnya seiring dengan jumlah yang disesuaikan yang bernama tuhor atau sering disebut dengan
tuhor boru. jumlah tuhor yang harus diberikan biasanya tergantung pada
kesepakatan kedua belah pihak dan dipertimbangkan dari pendidikan si wanita,
latar belakang keluarga, dan sebagainya.
Sebaliknya
apabila wanita dari persukuan melayu kawin dengan laki-laki Mandahiling apakah
adat semando atau adat Jujuran yang dipakai ?
Adat
yang dipakai merupakan hasil persesuaian
dan hasil perundingan sejumlah anggota keluarga timbal balik. Namun pada
umumnya adalah adat semando. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak berdomisili
dalam perkampungan melayu daerah Pasir Pengarayan.
Jika
laki-laki mandahiling yang datang ke rumah si wanita melayu melaksanakan akad
nikah, maka dengan sendirinya menurut ketentuan adat semando garis
keturunan menurut pihak ibu (material
chat). Wanita asal mandahiling yang kawin dengan laki-laki melayu dengan
mengisi tuhor yang disepakati, maka turunan anak akan sesuai dengan pihak ayah
atau laki-laki melayu.
Dalam
perkawinan Semando ataupun perkawinan jujuran yang terpenting adalah dilakukan
sesuai dengan syariat Islam dan adat tidak akan membawa resiko apa pun selama
suami dan isteri aman dan damai.
Persoalan
adat akan muncul apabila terjadi perceraian hidup ataupun perceraian mati.
Masalahnya akan timbul di mana wanita asal Mandahiling tidak berhak menguasai
anak-anak sebab jatuh di bawah pihak kekuasaan laki-laki (ayah)
Satu
hal yang unik adalah perkawinan wanita melayu dengan laki-laki Mandahiling
sering gagal apabila laki-laki mandahiling melamar membawakan adat jujuran.
Begitupun di daerah Pasir Pengarayan tidak ada kungkungan adat melarang
perkawinan/perjodohan sebagaimana kenyataannya ada perjodohan dengan suku asal
Minangkabau-Tapanuli Selatan, Aceh-Jawa, dan sebagainya. Selesai akad nikah
atau ijab Kabul pengantin laki-laki kembali kerumahnya sampai saat diadakan
peresmian perhelatan
3. Kawin
Lari
Salah
satu cara perkawinan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh masyarakat umumnya
dan di luar adat istiadat adalah apa yang disebut sebagai kawin lari. Banyak
sekali pengertian kawin lari di masyarakat Indonesia. Menurut Wikipedia,
dikatakan bahwa Kawin lari merupakan tindakan melarikan seorang wanita tanpa
izin, yang bertujuan untuk hidup bersama maupun menikah. Adapun dalam
masyarakat batak kawin lari dimaksudkan bukan berarti tidak mendapat restu dari
orang tua, tetapi terjadi karena si pengantin belum bisa menyelesaikan prosesi
adat yang wajib untuk pernikahan (Wikipedia). Namun pada masyarakat Melayu
Pasir Pengarayan yang dimaksud dengan kawin lari adalah suatu keadaan yang
terjadi dikarenakan beberpa hal-hal tertentu.
Meskipun pada pelaksanaan perkawinan dilakukan atau dilangsungkan
menurut syari'at Islam, tetapi oleh karena tata cara kawin lari di mana si
laki-laki dan si wanita meninggalkan kampungnya dan pergi ke negeri lain
mengucapkan akad nikah, ijab Kabul, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya dikatakan
sebagai kawin lari.
Kedua
pemuda dan pemudi sudah bersama-sama bertekad sepenuhnya untuk meningkatkan
pada jenjang perkawinan atau hidup suami isteri. Kasih yang sudah terikat dan
sayang atau cinta yang sudah terpaut tidak mungkin lagi dihalang-halangi dengan
tekad yang tidak dapat ditawar-tawar "membujur lalu melintang patah".
Akan tetapi untuk melaksanakan perkawinan akan terjadi beberapa halangan dan
rintangan antara lain :
- Pihak laki-laki yang tidak mampu menurut adat : "Lembaga diisi , adat dituang" artinya memenuhi biaya perkawiinan dan beberapa persyaratan menurut adat istiadat.
- Ibu/Bapak pihak wanita kurang setuju atau ada hal-hal lain yang sedikit kurang serasi dalam lingkungan keluarganya serta kaum kerabat.
- Terbentur dan menemui jalan buntu menghadapi cara perkawinan menurut adat masing-masing pihak. Seumpamanya adalah satu pihak mempertahankan adat materialchat yang berarti garis keturunan berasal dari pihak ibu yang kita kenal sebagai adat semondo. Sedangkan di pihak satunya mempertahankan adat patrialchat yang berarti garis keturunan dari pihak ayah yang kita kenal sebagai adat jujuran. Ada juga disebabkan karena si wanita menolak calon dari orangtuanya, tetapi belum ada ikatan adat di antara mereka, sehingga si wanita kawin lari dengan jejaka yang dicintainya
Jika
pelaksanaannya ini kurang hati-hati, maka akan menimbulkan konflik, bukan saja
pihak orang tua, tetapi lebih memungkinkan dari pihak kaum keluarga atau orang
sekampung. Sudah barang tentu kawin lari ini tidak akan ada meninggalkan
pertanda apa-apa , sebab pihak orang tua sendiri akan ikut menghalangi. Apabila
kawin lari yang terbentuk akibat biaya, lazimnya meninggalkan pertanda sehelai
kain, sepucuk surat, ataupun pertanda lainnya.
Syarat-syarat
Kawin lari, yaitu :
Kawin
lari yang berkisar soal kemampuan mengenai biaya di mana sebenarnya pihak orang
tua keduabelah pihak setuju. Maka kepergian ini meninggalkan
pertanda.perkawinan tidak boleh dilangsungkan dalam kampung itu juga atau yang
terdekat dari kampong tersebut sebab dikhawatirkan terganggu keamanan dan
ketertiban. Caranya sudah diatur dengan cara :
- Dilaksanakan di negeri atau kampung lain, artinya semakin jauh semakin baik.
- jaraknya dari negeri/kampung asal tidak boleh kurang dari 2 marhalah atau lenih kurang sejauh 70 Km.
Sebelumnya
sudah dipersiapkan surat-surat keterangan, terutama penjelasan bahwa si wanita
bukanlah tunangan ataupun isteri orang lain dan lain-lain. Dari itu apabila
mereka kembali ke tempat asalnya, maka segala sesuatunya diselesaikan dengan
baik oleh orang tua adat dan pemuka-pemuka keduabelah pihak.
4. Nikah
Terjun.
Yang
dimaksud dengan nikah terjun adalah si pemuda dan si pemudi pergi ke rumah tuan
qadhi di dalam kampung itu juga. Mereka mengatakan keinginan mereka untuk
dikawinkan. Tuan qadhi belum boleh untuk melaksanakan begitu saja dan terlebih
dahulu diberitahukan kepada orang tua si wanita untuk mendapatkan wali hakim.
Apabila
pihak orang tua menolak, maka difasikkan, yang artinya ditinggalkan haknya
sebagai wali hakim dan Tuan qadhi berhak menjadi wali hakim. Demikian kawin
lari dan nikah terjun bagi persukuan Melayu sejak Kemerdekaan Republik
Indonesia boleh dikatakan jarang terjadi apalagi setelah Pemerintah menetapkan
Undang-Undang Perkawinan no. 1/1974[11]
D.
Upaya
Pencegahan Kawin Lari
Pencegahan
perkawinan ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dicegah apabila ada pihak
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Undang-undang
memberikan hak kepada beberapa orang untuk mencegah atau menahan dilangsungkannya
perkawinan, yang diatur dalam :
1. Pasal
13, pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
2. Pasal
14 dan Pasal 15, yakni pencegahan pernikahan dapat diajukan ke pengadilan dalam
daerah hokum dimana pernikahan akan dilangsungkan oleh pihak keluarga dalam
garis keturunan lurus keatas dan kebawah, wali nikah, wali, pengampu dari salah
seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Pasal
17, pencegah memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat perkawinan dalam
daerah dimana perkawinan akan dilangsungkan dan pegawai penctat perkawinan
memberitahukan adanya permohonan pencegahan perkawinan kepada masing-masing
calon mempelai.
4. Pasal
18 pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan
menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang menvegah.
E.
Hukum
Kawin Lari
Jadi
bagaimana hukum mereka yang melakukan “Nikah Lari atau Kawin Lari” ini?
Jawaban atas hal ini adalah apabila yang dimaksud dengan kawin lari di sini
adalah si lelaki membawa pergi si wanita menjauh dari pihak keluarga wanita,
lalu menikahinya didaerah lain tanpa sepengetahuan dan seizin dari wali sah
wanita tersebut, maka pernikahan ini hukumnya adalah “Terlarang dan Nikahnya
Batal” dan wajib diulangi nikahnya sebagai solusinya, agar pernikahan mereka
kembali sah dan bersih serta tidak selalu dalam kungkungan hukum zina, yang
mana zina ini adalah tergolong dosa yang sangat besar selama mereka berkumpul
sebagai suami-isteri, hukum ini dasar dalilnya adalah dari hadits Aisyah Ra,
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
"Wanita
mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya batal, nikahnya
batal, nikahnya batal." (H.R At-Tirmidzi dan Abu Dauddengan sanad Hadits
adalah Shahih berdasarkan Ilmu Hadist).
Rasulullah
Saw menyatakan hukum atas nikah yang seperti ini saking kerasnya pelanggaran
tersebut adalah sampai tiga kali ucapan, yaitu : “nikahnya batal, nikahnya
batal, nikahnya batal." Juga pada hadist ini, Rasulullah Saw
bersabda,“Tidaklah sah pernikahan tanpa persetujuan dari wali.” (H.R Abu Daud).
Oleh
karena susunan nasab dan mahram sebagai wali pernikahan bagi wanita diatas
tidak terpenuhi dan tidak adanya persetujuan dari wali tersebut berdasarkan
sabda Rasulullah Saw diatas, maka pernikahan yang dilakukan dengan istilah
“nikah lari atau kawin lari” adalah tidak dibenarkan dalam Islam, dan tidak
pernikahan tersebut dianggap sah dalam Islam, yang lebih dikenal dengan istilah
“nikah sirri atau bawah tangan wali”. Apabila telah terlanjur terjadi juga, ada
beberapa hal yang bisa ditempuh untuk mengatasi dosa zina ini selain dari
bertaubat yang paling utama dilakukan adalah bisa ditempuh dengan beberapa
alternatif, yaitu antara lain :
1. Melakukan
perdamaian dan pertemuan keluarga kedua belah untuk memperbaiki hubungan ini
kembali agar bersih berdasarkan syari’at Islam, bersama-sama melakukan “Sulh”
(perdamaian atau perbaikan) dengan wali pihak wanita (bapak dan ibunya atau
sesuai dengan urutan wali diatas), hal ini boleh dilakukan sebagai solusi
berdasarkan dari riwayat hadist dari Rasulullah Saw yang bersabda : “Sulh
(berbaikan atau berdamai) yang terjadi di antara kaum muslimin hukumnya adalah
boleh.” (H.R Abu Daud). Jadi bisa saja dari hasil kesepakatan ini diadakan akad
nikah ulang bagi mereka dan sesuaikan kembali persyaratannya menurut hukum
pernikahan Islam yang sah dan resmi.
2. Bila
satu atau beberapa komponen atau dari pihak masyarakat yang memproses akan
keberadaan hukum pernikahan mereka ini, menemukan tidak ada wali pihak wanita
yang lain selain bapaknya yang mungkin untuk ini, maka melaporkan masalah ini
kepada hakim syar’i yang sudah ditunjuk oleh pemerintah yang resmi dan
merekalah yang memutuskan solusi hukum syar’i apa yang dilakukan bagi mereka
yang telah terlanjur berbuat nikah lari atau kawin lari tersebut. Kewajiban
bagi seorang muslim adalah bersabar dalam menghadapi sesuatu masalah dan
membuat suatu keputusan bersama secara azas mufakat adalah solusi terbaik dalam
menyikapi masalah ini, niscaya Allah Swt tentu juga akan memberikannya jalan
keluar. Allah Swt berfirman,“Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka
Allah akan memberikannya jalan keluar, barang siapa yang bertaqwa kepada Allah,
maka Allah akan memberikan baginya kemudahan pada perkaranya.” (Q.S Ath-Thalaq
: 2-4).
Di
antara jalan keluar yang mungkin Allah Swt berikan yaitu menjaga hati umat
muslimin untuk selalu dan menjaga kehormatannya dengan tidak mengikuti cinta
secara duniawi dan berdasarkan hawa dan nafsunya yang memang tidak dikehendaki
oleh-Nya, Allah Swt berfirman,“Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S An-Nisaa’ : 19).
Untuk
terhindar dari hal-hal yang sedemikian, maka hendaknya para kawula
memperhatikan cara-caranya dalam berhubungan antar pasangan (pacaran) agar
senantiasa memperhatikan norma-norma dan akhlak yang baik, serta menjaga selalu
batasan-batasan yang sesuai dengan aturan dan ketentuan syari’at Islam itu
sendiri, jangan perturutkan cinta buta yang penuh dengan kebebasan serta bisa
menghilangkan pemikiran dan akal yang sehat dalam tindak dan perbuatan selama
mereka melakukan hubungan asmara percintaan sesama pasangannya, sehingga
menjadi tersesat kejurang kemasiatan, keingkaran dan kekufuran yang cikal bakal
terjadinya pernikahan melalui cara melarikan diri dari aturan dan koridor
hukum, jadi muaranya adalah neraka baginya didunia apalagi diakhirat jika tidak
segera bertaubat, Allah Swt marah dan murka dan tidak akan melihat positif
sedikitpun pada perbuatan umat manusia yang melakukan hal ini, berdosa atas
nikah yang tidak sah serta berdosa atas menyakiti hati segenap keluarga dan
ditambah lagi melakukan zina terang-terangan secara hukum Islam, karena mereka
telah bersatu tanpa adanya hukum yang sah guna menaungi atas bersatunya
pasangan tersebut, akibatnya kedamaian, ketenangan, ketenteraman, kelanggengan
dan kebahagiaan yang dicita-citakan akan menjadi jauh dari kehidupan mereka
sendiri.[13]
BAB III
Hasil Penelitian
A. Wawancara dengan
Narasumber
1.
Wawancara dengan ibu Fina
Zufriani
Ket
: Observer (Ob), Narasumber (N)
Ob :
Assalamualaikum buk,
N :
Waalaikumsalam nak, mari-mari sini masuk nak..
Ob : iya
buk, terimakasih..
Maaf ya bu mengganggung waktu senggangnya..
N : iya
nak, tidak apa-apa. Kalian darimana ini kok jaketnya sama semua?
Ob : iya
bu, kami dari mahasiswa UIN Sumatera Utara, Medan bu.
N : oh
iyaiya nak, Kalau ibu boleh tau ada keperluan apa ini nak ?
Ob : begini
bu, tujuan kami kesini karena adanya tugas dari salah satu mata kuliah yang
mengharuskan kami untuk melihat, serta mengobservasi masalah perkawinan yang
terjadi di daerah ini, terkhusus mengenai masalah kawin lari. Didaerah ini ada
tidak bu yang mengalami seperti itu ?
N :
oh..disini kalau masalah kawin lari ada nak, tetapi jarang terjadi.
Ob :
menurut ibu, apa yang menyebabkan mereka kawin lari ?
N : kalau
disini kebanyakan karena masalah ekonomi nak, dan banyak yang tidak disetujui
oleh orang tuanya..
Ob :
biasanya kawin lari yang terjadi disini diadatin lagi apa tidak bu.
N :
tergantung nak, jika kedua orang tua baik dari laki-laki dan perempuan
menyepakati untuk diadatin maka proses mengadatin tersebut dilakukan nak,
tetapi jika tidak ya tidak. Tetapi jarang sekali proses diadatin tersebut kalau
keduanya itu kawin lari nak, paling hanya mengadakan pengajian dan syukuran
gitu aja.
Ob : iya
bu, bagaimana menurut ibu, biasanya orang yang seperti itu apakah hubungan
keluarga antar kedua pihak renggang atau bagaimana bu ?
N : setau ibu kalau renggang si tidak ya, hanya
saja karena perilaku masing-masing anak mereka orang tuanya yang mendapatkan
akibat buruknya, misalnya seperti banyak tetangga-tetangga yang menggunjing
keluarga mereka dan menyebarka isu-isu yang tidak benar nak. Kalau hubungan
antar kedua belah pihak ya akur-akur saja nak.
Ob : oh
gitu ya bu, terima kasih banyak ya bu atas waktunya yang sudah mau menerima
kami disini.
N : iya
nak sama-sama..
Ob : kami
pamit dulu ya bu, assalamualaikum bu..
N :
waalaikumsalam nak.
2.
Wawancara dengan Ibu Zulaifi
Ob :Assalamu’alaikum buk
N : Wa’alaikum salam nak
Ob :
permisi buk, boleh minta waktunya sebentar?
N : iya
nak, boleh…
Ob : Jadi
gini buk, kami ini dari mahasiswa uinsu
dan maksud kedatangan kami ke sini, kami mau mengobservasi buk
N : Mengobservasi tentang apa ya nak?
Ob : kami
ingin mengobservasi tentang kawin lari. Disekitarlingkungansini sepengetahuan
ibuk pernah terjadi kawin lari?
N : Ooh…
sepengetahuan ibuk ada sih nak, tapi
kejadiannya itu sudah lama sekali.
Ob : ooh
gitu ya buk, mereka itu masyarakat asli dari sini ya buk?
N : iya nak.
Ob : Jadi
sekarang kehidupan mereka seperti apa buk?
N : Iya,
sekarang sih mereka baik- baik saja, dan orang tua mereka sudah mau menerima
mereka
Ob : Ketika
kawin lari mereka tinggal dimana buk?
N :
Setelah menikah mereka tidak tinggal disini, tapi setelah beberapa tahun kemudian mereka kembali ke lingkungan
sini.
Ob : ooh….
Begitu ya buk
N : iya
nak.
Ob :
Menurut ibuk apakah dalam budaya melayu ada istilah kawin lari?
N ; Tidak
ada nak, menurut budaya melayu kawin lari, tetap disebut kawin lari.
Ob :
Menurut ibuk masyarakat dalam budaya
melayu banyak gak yang kawin lari?
N : Tidak
banyak nak, hanya beberapa orang saja. Sepengetahuan ibuk sih gitu nak
Ob : oh
iya buk, menurut ibuk bagaimana keadaan
mereka yang kawin lari? Kalau kami boleh tau keadaan ekonominya seperti apa ya buk?
N : Kalau
itu ibuk gak tau nak
Ob ; Oiya
buk penyebab mereka yang memilih kawin
lari apa ya buk?
N : (
Ibuk tersebut sejenak diam,) jadi gini nak, kalau penyebabnya , apa ya… ibuk
kurang tau nak.
Ob : ooh
kalau gitu terima kasih banyak untuk waktunya ya buk,
N : Iya
nak, sama-sama nak
Ob : oiya
buk, sebelum kami pamit pulang, kami mau
berfhoto dulu buk
Ob : Okey
buk, kami pamit pulang ya buk. Assalamu’alaikum buk
N :
wa’alaikum salam , hati-hati kalian semua ya nak.
3. Wawancara Dengan Ibu Sela
Ob :
assalamualaikum buk
N ;
waalaikum salam ada yang bisa dibantu nak
Ob : begini
buk kami dari UIN jurusan bimbingan konseling islam disini kami mau observasi
tentang kawin lari melayu mata kuliah konseling lintas budaya
N : owh,
seperti itu
Ob : jadi
kami disini mau meminta bantuan ibuk untuk wawancara tentang kawin lari, apakah disini ada orang
kawin lari ?
N : ada
nak
Ob : jadi
buk kawin lari itu disini sering terjadi?
N : tidak
juga nak
Ob : jadi
disini kawin lari sudah lama terjadi ?
N : udah
lama juga nak
Ob :
kira-kira apa penyebab terjadinya kawin lari disini buk
N :
biasanya terjadi karena kurangnya restu orang tuanya , jadi mereka kawin
lari saja walaupun
mereka tidak direstui oleh orang tuanya .
Ob : ooh, seperti itu buk ,
jadi bagaimana tanggapan orang tuanya kalau sepengetahun ibuk terhadap
anaknya yang kawin lari , apakah sampai sekarang tidak direstuin juga ?
N :
setahu saya orang tuanya sudah menerima mereka ,karena
sejahat-jahatnya anak pasti tetap diakui dan dianggap anak yang paling disayang
oleh kedua orang tuanya.
Ob : jadi
sekarang sudah diterima kembali dia ya buk dengan orang tuanya ?
N : iya
nak mereka sudah diterima
sekarang dikeluarganya
Ob : oh
yabuk disini apakah ada istilah kawin lari ?
N :
setahu saya tidak ada istilah kawin lari
Ob : apakah
disini orang orang kawin lari itu mesti disyaratin kalau orang itu kembali
keorang tuanya
N : tidak nak ,kalau mereka
sudah kembali pulang pada orang tuanya ya sudah, yang penting mereka sudah
menikah dengan sah.
Ob : owh
seperti itu buk , terimakasih ya buk
atas informasinya
N : iya
nak
Ob : sebelum kami pamit , boleh kita foto dulu buk
N : boleh
Ob :
terimakasih ya buk , asslamualaikum
N :
waalaikum salam
B. Kesimpulan
Dari
hasil wawancara yang telah peneliti lakukan maka dapat disimpulkan bahwa dalam
suku melayu istilah atau nama lain dari kawin lari tidak ada. Kemudian didaerah
tersebut pernah terjadi kawin lari dan jarang dijumpai. Masyarakat disana
berpandangan bahwa kawin lari sangat memalukan dan dipandang sangat jelek. Kemudian
para narasumber tidak terlalu luas dalam menjelaskan mengenai kawin lari ini,
karena mereka takut salah menyampaikan informasi. Dengan waktu yang sangat
singkat kami pun memanfaatkan waktu tersebut. Informasi yang kami dapatkan dari
narasumber tersebut bahwa penyebab terjadinya kawin lari ini dikarenakan faktor
ekonomi baik dari pihak laki-laki maupun perempuan sehingga kedua orang tua
dari kedua bela pihak tidak merestui keduanya. Hal inilah yang menyebabkan
mereka kawin lari. Kemudian keadaan setelah mereka kawin lari sangat berdampak
pada hubungan mereka dengan kedua orang tuanya, tidak itu saja kedua orang tua
mereka juga merasakan dampak tersebut, misalnya para tetangga yang
munggunjingkan keluarga mereka yang seperti itu. Tetapi, seiring berjalannya
waktu keadaan hubungan antara keduanya mulai membaik, karena orang tua mana
yang tega membiarkan anaknya begitu saja. Pastilah semua orang tua sangat
mempedulikan anaknya.
C.
Saran
Dalam
hal ini sangat diharapkan kepada para orang tua supaya tidak mempersulit
anak-anak mereka dalam melangsungkan pernikahannya, kemudian peran masyarakat
sangat penting dalam permasalahan kawin lari ini, masyarakat dapat
berpartisipasi dengan cara lebih meningkatkan budaya religius agar hal ini
tidak dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius.
2014. Korelasi Kebudayaan &
Pendidikan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Evawarni,2009.
Hubungan Antar Suku Bangsa di Kota
Pangkalpinang, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional.
Ibrahim. 1994. Wujud Variasi dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Pada oran Melayu,
Jambi: Departemen Pendidikan danKebudayaan.
Tengku Muhammad Lah Husni, 1986.
Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Said, Mahidin. 2006. Adat dan Kebudayaan Pasir Pengarayan.
Pekanbaru : Lembaga Adat Melayu Riau.
Wan Abdul Kadir, 1988.
Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
http://anekaartikelhukum.blogspot.co.id/2011/10/hukum-perkawinan-dalam-hal-kawin-lari.html.
Di unduh tgl 18 desember 2017, jam 19.57 wib.
https://wadahsufiyah.blogspot.co.id/2014/06/hukum-nikah-lari-atau-kawin-lari.html. Diunduh tgl
18 desember 2017, jam 20:13 wib
LAMPIRAN
SAAT WAWANCARA Observer 1.
Foto bersama observer 2.
Foto bersama observer 3
Foto bersama di mesjid Al Osmani
[1] Ibrahim, Wujud
Variasi dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Pada oran Melayu, Jambi (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994) Hal iii
[2]Evawarni, Hubungan
Antar Suku Bangsa di Kota Pangkalpinang (Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,2009) Hal 28
[3]Antonius, Korelasi
Kebudayaan & Pendidikan (Jakarta,Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014)
Hal 89
[4] Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu
Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. H. 140
[5] Tengku Muhammad Lah Husni, 1986. Butir-Butir Adat Budaya Melayu
Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. H. 125
[7] Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu
Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. H. 140
[9]Said, Mahidin. 2006. Adat dan Kebudayaan Pasir Pengarayan.
Pekanbaru : Lembaga Adat Melayu Riau. H. 336
[11]Said,
Mahidin. Adat dan Kebudayaan Pasir
Pengarayan. Pekanbaru, h. 346.
[12]http://anekaartikelhukum.blogspot.co.id/2011/10/hukum-perkawinan-dalam-hal-kawin-lari.html.
Di unduh tgl 18 desember 2017, jam 19.57 wib.
[13]https://wadahsufiyah.blogspot.co.id/2014/06/hukum-nikah-lari-atau-kawin-lari.html. Diunduh tgl 18
desember 2017, jam 20:13 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar