Rabu, 03 Januari 2018

Kawin Lari dalam Perspektif Suku Melayu



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Menikah adalah bagian dari anjuran islam. Orang yang menikah tentunya telah menjalankan syariat islam, menghindari dari perzinahan, dan tentunya memiliki peluang mendapatkan pahala dari usaha dan perjuangannya untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Tentu saja hal ini adalah keinginan dari setiap orang.
Tetapi masih banyak yang terjadi di masyarakat yang menikah atas dasar paksaan dari orang tua maupun hal lain, misalnya karena terlilit hutang, atau karena pihak laki-laki kurang memenuhi syarat untuk menikahi si perempuan, Hal itulah yang menyebabkan si Anak bertekat untuk melakukan kawin lari dengan pasangannya. Dalam hal ini kami membahas tentang kawin lari pada suku melayu.
Menurut KBBI kawin lari adalah cara melarikan gadis yang akan dikawininya dengan persetujuan gadis itu untuk menghindarkan diri dari tata cara adat yang dianggap berlarut-larut dan memakan biaya yang terlalu mahal, sedangkan menurut para ahli kawin lari sebagai berikut :
Ter Haar berpendapat bawa perkawinan bawa lari (Schook Huwelijik) adalah kadang-kadang lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain, terkadang-kadan membawa lari dengan paksa.
Kawin lari adalah bentuk perkawinan yang terjadi apabila bakal si jodoh lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan yang diistilakan dengan weglopwelijik of vucwelkijk yang artinya kawin lari atau melarikan diri.
Berdasarkan dari pendapat di atas, dapat diartikan bahwa kawin lari adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan tanpa didahului peminangan atau pertunangan secara resmi /formal. Lebih lanjut di jelaskan oleh (Hilman Hadikusuma, 1993: 34) menyatakan bahwa terjadinya kawin lari tidak saja dilakukan bujang terhadap gadis, tetapi ada juga yang sedang dalam ikatan perkawinan atau sudah pernah kawin.
Cara perkawinan semacam ini banyak terjadi pada masyarakat yang menganut garis kekeluargaan patrilineal yaitu menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak. Pada umumnya yang menjadikan alasan dilakukannya cara perkawinan seperti ini adalah untuk membebaskan diri dari bermacam-macam kewajiban yang harus dipenuhi dalam perkawinan yang dilakukan dengan lamaran dan pertunangan, misalnya memberi piningset pada pihak calon istri.
Sebenarnya terjadinya kasus kawin lari terhadap masyarakat pada umumnya, bukanlah atas kehendak mereka yang sebenarnya, melainkan mereka menginginkan perkawinannya direstui orang tua dan keluarga dengan dilaksanakan menurut adat, ketentuan agama dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi karena adanya faktor-faktor penghambat dilangsungkannya perkawinan yang diawali dengan cara melamar atau meminang, maka mereka nekat untuk mengawali perkawinannya dengan cara kawin lari.
Dalam hal ini kami melakukan sebuah observasi terhadap suku melayu tentang “KAWIN LARI” dengan tujuan mengetahui pandangan suku melayu terhadap kawin lari. Hal ini yang menjadi fokus observasi kami.
B.     Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah ini yaitu :
1.      Orang Tua Yang Tidak merestui Pernikahan Anaknya
2.      Faktor Ekonomi yang menjadi penghalang Pihak yang bersangkutan
3.      Pandangan Suku Melayu Terhadap kawin Lari
C.    Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas kami membatasirumusan masalah tentang
‘Apakah pandangan suku melayu terhadap Kawin Lari”

D.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk Mengenal Adat Suku melayu
2.      Untuk Mengetahui Adat Istiadat pernikah Suku Melayu
3.      Mencari tahu bagaimana pandangan suku melayu terhadap Kawin Lari
E.     Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
1)      Agar Orang Tua Bisa lebih Bijak dalam mengambil keputusan untuk anak-anaknya.
2)      Supaya dapat menjaga adat istiadat yang ada di suku melayu
3)      Agar memebrikan bahan pengetahuan untuk masyarakat dalam memperkaya pengetahuan keagamaan khusuusnya dalam bidang perkawinan
BAB II
ISI
A.    Suku Melayu
Keanekaragaman suku bangsa dengan budayanya di seluruh Indonseia merupakan kekayaan bangsa yang pelu mendapat perhtian khusus. Kekayaan ini mencakup wujud-wujud kebudayaan yang didukung oleh masyarakatnya.[1]
Melayu merupakan sebutan untuk sejumlah kelompok sosial di beberapa negara Asia Tenggara, yang dalam beberapa aspek kebudayaannya menunjukkan ciri-ciri persamaan. Di Indonesia, yang menyebut dirinya sebagai suku bangsa Melayu adalah kelompok sosial yang berada di Bangka dan Belitung, Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan beberapa daerah lainnya.
Suku bangsa Melayu adalah salah satu dari sejumlah suku bangsa yang ada di Indonesia. Melayu mempunyai tiga pengertian. Pertama, Melayu dalam pengertian “ras” diantara berbagai ras lainnya. Orang-orang yang termasuk dalam kategori ras Melayu ini berkulit coklat. Ada teori yang mengatakan bahwa ras ini merupakan campuran antara Mongol yang berkulit kuning, Dravida yang berkulit hitam dan Arian yang berkulit putih. Kedua, Melayu dalam pengertian “suku bangsa” ini terjadi karena perkembangan sejarah dan perubahan politik yang pada gilirannya membuat Melayu terbagi kedalam beberapa negara Nasional, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai dan Filipina. Melayu disini diartikan sebagai bagian dari suku bangsa. Untuk diketahui, pengertian suku bangsa tidak sama dengan di Malaysia dan Singapura. Di Indonesia yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah yang mempunyai adat istiadat Melayu, bermukim terutama di sepanjang pantai Timur Sumatera, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Ketiga, adalah Melayu dalam pengertian suku, yaitu sub-sub dari suku bangsa Melayu yang kami maksudkan dalam tulisan ini adalah melayu sebagai suku bangsa sebagaimana dikemukakan oleh Muchtar Lutfi (arti yang kedua). Khususnya lagi suku bangsa Melayu yang berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu dan beragama Islam serta bermukim di Pangkal Pinang. Menurut Ibrahim (2004), suku bangsa Melayu yang berada di Pangkal Pinang dimungkinkan masuknya melalui dua jalur yaitu semenanjung Melayu, masuk ke Sumatera, Jawa, lalu Kalimantan, sedangkan jalur kedua melalui Filipina yang masuk ke sulawesi.[2]
Yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam perbauran ikatan perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu secara sadar dan berlanjutan[3]
Istilah Melayu berasal dari bahasa Sanskerta yang dikenal sebagai Malaya, yaitu sebuah kawasan yang dikenali sebagai daratan yang dikelilingi oleh lautan Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepuluan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Gathercole seorang pakar antropologi Inggeris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik dan etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia. Ia menggambarkan bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan pada suatu masa dahulu, yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke Madagaskar, di sebelah timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.
 Melayu dikaitkan dengan beberapa perkara seperti sistem ekonomi, politik, dan juga budaya. Dari sudut ekonomi, Melayu-Polinesia adalah masyarakat yang mengamalkan tradisi pertanian dan perikanan yang masih kekal hingga hari ini. Dari sudut ekonomi, orang Melayu adalah golongan pelaut dan pedagang yang pernah menjadi kuasa dominan di Lautan Hindia dan Pasifik sebelum kedatangan kuasa Eropa.
Dari segi politik pula, sistem kerajaan Melayu berasaskan pemerintahan beraja bermula di Campa dan Funan, yaitu di Kamboja dan Selatan Vietnam pada awal abad Masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini telah berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra dan di sepanjang pantai timur Tanah Melayu, termasuk Kelantan dan Terengganu. Kerajaan Melayu Segenting Kra ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka kemudian menjadi Pattani[4].
Untuk menentukan kawasan kebudayaan Melayu dua perkara menjadi kriteria penjelasan, yaitu kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia Melayu tidak terbatas kepada Asia Tenggara saja, namun meliputi kawasan di sebelah barat meragkumi Lautan Hindia ke Malagasi dan pantai timur benua Afrika; di sebelah timur merangkumi Gugusan Kepulauan Melayu-Mikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira 103.6 kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi Selandia Baru; dan di sebelah utara melingkupi kepulauan Taiwan dan Hokkaido, Jepang [5].

B.     Pernikahan Adat Di Suku Melayu
Pernikahan merupakan suatu upacara penyatuan dua insan dalam sebuah ikatan yang diresmikan secara norma agama, adat, hukum, dan sosial. Adanya beragam suku bangsa, agama, budaya serta kelas sosial menimbulkan bervariasinya upacara pernikahan. Pernikahan merupakan fase penting dalam kehidupan yang dilalui manusia yang bernilai sakral. Oleh karena itu, orang sangat memperhatikan dan memikirkan setiap proses-proses yang akan dilalui.
Menurut ajaran islam, sebenarnya tahapan upacara pernikahan tidaklah rumit dan memberatkan. Pernikahan dikatakan sah asalkan sesuai dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Namun jika mengikut adat akan terlihat sedikit rumit karena banyaknya tahapan-tahapan yang harus dilalui. Namun hal tersebut sah-sah saja karena adat melayu tetap berpegang teguh pada ajaran agama Islam seperti dalam istilah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Tahapan-tahapan yang dilalui menurut adat melayu Riau dibagi menjadi 3 yaitu: prosesi sebelum perkawinan, prosesi persiapan perkawinan dan prosesi setelah perkawinan.[6]
Adat prosesi sebelum perkawinan ini menjelaskan perihal perkawinan ideal dan pembatasan jodoh, bentuk-bentuk perkawinan, syarat-syarat untuk kawin, dan cara memilih jodoh. Secara umum, terdapat 4 tahapan yang harus dilalui dalam prosesi ini:
1.      Merisik
Merisik merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam proses perkawinan yang bertujuan untuk menyelidiki tentang keberadaan seorang calon pengantin yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Hal ini dikarenakan zaman dulu pergaulan pria dan wanita dibatasi oleh adat budaya tidak seperti saat ini yang terlalu terbuka dan hampir tanpa batas. Jadi, jika seorang pemuda merasa tertarik akan seorang gadis, maka ia akan menyampaikan kepada kedua orang tuanya dan segala urusannya diserahkan pada mereka. Merisik bisa dilakukan oleh orang tua laki-laki tersebut atau dengan mengirim orang yang dipercaya sebagai utusan untuk mencari informasi tentang calon istri berkaitan dengan latar belakang, kemampuannya mengurus rumah tangga, kesuciannya, kepribadiannya, serta pergaulannya dengan orangtua, tetangga, dan masyarakat. Hal yang terpenting untuk ditanyakan adalah apakah si gadis sudah dipinang orang atau sudah terikat janji dengan orang lain. Jika sudah, maka kedatangan pihak laki-laki dianggap hanya untuk bersilaturrahmi.
2.      Meminang
Setelah diketahui bahwa si gadis belum memiliki ikatan dengan laki-laki lain dan telah disepakati bahwa pihak laki-laki berkenan untuk menjodohkan anak laki-lakinya dengan si gadis, maka dilakukan ke tahapan selanjutnya yaitu, meminang. Kemudian pihak laki-laki akan meberitahukan tentang kedatangan utusannya untuk melakukan peminangan dan pihak wanita menunggu sambil melakukan beberapa persiapan seperti tepak sirih sebagai pertanda hati ikhlas menanti dan mengharapkan perundingan berjalan lancar. Utusan terdiri dari beberapa orang yang dituakan dan seseorang juru bicara untuk menyampaikan maskud dan tujuan kedatangannya yang dijawab oleh pihak wanita. Jawaban bisa diberikan langsung saat peminangan namun adakalanya pihak perempuan meminta waktu beberapa hari untuk menjawabnya dikarenakan mereka ingin bermufakat terlebih dahulu dengan keluarga.
3.      Mengantar Tanda
Tahapan berikutnya yang harus dilewati setelah didapat jawaban diterimanya pinangan tersebut adalah mengantar tanda yang merupakan suatu ikatan janji diantara kedua calon pengantin. Tanda ini hakekatnya menjadi wujud dari persetujuan penerimaan pinangan dan sebagai pengikat bagi kedua belah pihak. Waktu pelaksanaannya berdasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak. Dalam acara antar tanda ini, hanya pihak laki-laki yang membawa sebuah cincin emas belah rotan dengan ukuran sesuai dengan tingkat sosialnya. Setelah prosesi antar tanda selesai dapat disimpulkan tentang berapa besarnya uang antaran dan hari langsung maka prosesi berikutnya adalah mengantar belanja.[7]
4.      Mengantar Belanja
Prosesi antar belanja pada hakikatnya merupakan kedatangan utusan pihak keluarga calon pengantin laki-laki untuk menyerahkan uang belanja sebagai lambang gotong-royong dan kebersamaan untuk membantu pihak perempuan dalam melaksanakan perhelatan perkawinan kedua anak mereka yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan calon pengantin laki-laki. Uang ini merupakan uang yang diberikan secara ikhlas oleh pihak laki-laki dan diterima secara sukarela oleh pihak perempuan. Jadi tidak dibenarkan pihak laki-laki untuk mengungkit-ungkitnya di kemudian hari.
Biasanya, dalam prosesi mengantar belanja, selain memberikan uang juga dilengkapi dengan bahan pengiring lainnya berupa barang-barang keperluan calon pengantin wanita yang juga disesuaikan dengan kesanggupan pihak lelaki. Barang-barang tersebut berupa: bahan pakaian kebaya dari kain tenun atau bahan lainnya, seperangkat alat shalat, tas, sandal, sepatu, handuk, selimut, pakaian dalam, peralatan berhias dan mandi, dan disertai bunga rampai.
Uang hantaran tersebut sering dibuat kreasi berbagai bentuk seperti bunga, kapal layar dll. Sedangkan bahan-bahan pengiringnya pun disusun sedemikian rupa sehingga terlihat cantik sesuai kreasi masing-masing. Penyampaiannya dilakukan oleh seorang juru bicara dari masing-masing pihak dengan saling berbalas pantun yang diawali dengan tukar menukar tepak sirih yang berisi lengkap, sebagai tanda kesucian hati dari kedua belah pihak. Kemudian juru bicara menyebutkan satu persatu apa-apa yang diserahkan dan sekaligus menetapkan hari pernikahan. Maksud yang terkandung dari pelaksanaan upacara mengantar belanja ini adalah sebagai tanda tanggung jawab dan rasa kebersamaan dari pihak lelaki, terutama sebagai i’tikad dalam membina rumah tangga bahagia, rukun damai, sakinah, mawaddah warahmah. Disini tertanam sifat kegotong royongan.
Kemudian prosesi selanjutnya adalah prosesi upacara perkawinan yang menjelaskan menjelaskan tentang persiapan sebelum pesta perkawinan hingga pelaksanaan hari pesta perkawinan. Dalam prosesi ini ada beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1.      Menggantung (Hari Menggantung)
Menggantung merupakan suatu pertanda bahwa perhelatan pernikahan akan segera dilangsungkan. Disini, mak andam menghias rumah dengan memasang gerai pelaminan di rumah pengantin perempuan. Pemasangannya dilakukan dengan cara menggantungkan hiasan-hiasan pelaminan serta tabir yang berwarna mera, kuning dan hijau. Oleh karena itu disebut hari menggantung. Biasanya mak andam akan dibantu oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan serta didampingi perempuan setengah baya yang dilakukan lima atau tujuh hari menjelang hari pernikahan.
Dimulai dengan memasang pentas pelaminan, kemudian diberi tepung tawar dan dilanjutkan dengan pemasangan hiasan berupa tabir belang yang digantung pada 4 sisi pelaminan dan dilengkapi tabir gulung dan tabir jatuh serta tabir perias yang dipasang pada bagian atas tabir belang. Warna tabir belang diatur dimulai dari kuning, hijau dan merah.
2.      Berinai Curi
Kegiatan berinai curi dilakukan pada malam hari kepada kedua calon pengantin sekitar 1 atau 2 hari menjelang pernikahan yang dipersiapkan oleh mak andam. Disebut berinai curi karena peralatan berinai untuk mempelai pria diambil secara diam-diam(dicuri) dari rumah mempelai wanita pada malam hari.
Berinai memiliki bermacam-macam makna seperti: untuk menolak bala, melindungi pengantin dari segala kejahatan dan membuat paras pengantin makin berseri dan bercahaya. Pemakaian inai di tangan dan di kuku, warna merahnya sebagai pemanis dan penolak bala sehingga pengantin terhindar dari gangguan makhluk-makhluk halus. Inai ditelapak tangan sebagai penjaga diri, sedangkan di telapak kaki sebagai tanda tak boleh berjalan jauh. Untuk pemakaian di sekeliling telapak tangan dan kaki bermakna sebagai pembangkit seri.
Adapun kelengkapan berinai sebagai berikut:
·         Tepak sirih berisi sirih lengkap.
·         Inai yang sudah digiling halus secukupnya
·         Lilin lebah untuk menutup kuku (dihias/dibentuk)
·         Bedak sejuk.
·         Kain Lap/serbet /kertas tisu.
·         Lilin untuk dinyalakan.
·         Sabun mandi
·         Seutuhnya ditata dalam piring beralas serbet.
3.      Berandam
Upacara Berandam merupakan kegiatan mencukur bulu roma diwajah sekaligus membersihkan muka, membentuk alis, dan anak rambut dibagian muka dan di belakang tengkuk. Makna yang terkandung dalam upacara berandam ini tiada lain adalah untuk pembentukkan keindahan lahiriah guna perwujudan kecantikan bathiniahnya serta sebagai lambang persiapan diri calon pengantin perempuan untuk menjadi seorang perempuan yang sempurna lahir batinnya, dan siap menjadi ibu rumah tangga sejati. Kegiatan ini dilakukan pada pagi hari sehari sesudah berinai curi terhadap pengantin perempuan yang dilaksanakan di rumah pengantin perempuan dan dihadiri oleh semua keluarga terdekat serta dipimpin oleh Mak Andam. Dilakukan pada pagi hari dengan maksud mengambil seri dari matahari pagi sepenggalahan agar pengantin selalu bercahaya dan cerah secerah matahari pagi.
4.      Akad Nikah
Setelah berbagai prosesi adat telah dilalui oleh kedua mempelai, tibalah pada upacara yang paling sakral yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan dimana seorang ayah melepaskan tanggung jawab terhadap anak perempuannya kepada seorang perjaka yang akan menjadi suami yaitu Upacara Akad nikah atau Ijab Kabul. Ijab merupakan kata-kata penyerahan dari si ayah sedangkan Kabul merupakan jawaban dari mempelai pria yang dilakukan dirumah pengantin wanita pada malam hari setelah sholat Isya dihadapan Penghulu Nikah dan saksi-saksi sesuai hukum syarak. Biasanya acara ini cukup mengharukan karena dengan adanya acara ini dia akan berpindah dari rumah orang tuanya .
Setelah Ijab Kabul dilanjutkan dengan pengantin lelaki menyembah orng tua pengantin wanita dan orang tua-tua yang patut menurut adat dan lembaganya. Pada acara penyembahan ini terkandung makna untuk memohon keampunan dari kedua orang tua dan keikhlasan menerima kehadiran anak menantunya kedalam keluarga mereka.
Seterusnya setelah akad nikah maka si pengantin mestilah:
1.      Tahu akan beban yang menanti
2.      Tahu akan apa yang menunggu
3.      Tahu hidup memegang wakil
4.      Tahu alur dengan patutnya
5.      Tahu akan salah dan silih
6.      Tahu akan fungsi dan tugas suami istri
7.      Tahu pula tempat tegaknya isteri.

5.      Berinai Lebai
Setelah kedua mempelai menyembah kedua orang tua mereka sesudah akad nikah, maka selanjutnya kedua pengantin didudukkan diatas pelaminan untuk dilakukan upacara tepuk tepung tawar. Pada saat ini kedua pengantin ini disandingkan dengan alasan menghemat waktu dan mereka telah syah dipertemukan. Pada acara tepuk tepung tawar ini dilakukan pula berinai ditelapak tangan yang disaksikan oleh orang ramai dan dihadiri oleh ulama sehingga acara ini disebut juga sebagai “Berinai Lebai”. Tepuk tepung tawar ini dilakukan oleh orang tua-tua atau yang dituakan dikalangan keluarga maupun dimasyarakat dengan jumlah yang ganjil sesuai dengan tingkat sosialnya dalam masyarakat dan sipenepuk yang terakhir diharuskan memimpin pembacaan do’a.
Adapun tingkat sosial kehidupan dimasyarakat yang ditemui dulunya adalah :
a.       Tingkat Sultan: 9 orang
b.      Tingkat keluarga Sultan (Tengku/syed): 7 oran
c.       ingkat Datuk-datuk/Encik-encik/wan: 5 orang
d.      Tingkat Masyarakat Awam: 3 orang
Setelah selesai upacara akad nikah dan tepuk tepung tawar (berinai lebai), maka dilanjutkan dengan acara makan bersama. Kemudian, pengantin pria beserta rombongan keluarganya kembali ke rumahnya untuk bersiap-siap menunggu untuk acara selanjutnya yaitu hari langsung/bersanding pada esok harinya.[8]
6.      Upacara Khatam Al-Qur’an
Bagi setiap anak dara yang telah siap untuk berumah tangga, ia diharuskan untuk memiliki bekal tentang pengetahuan agama agar dalam mengarungi rumah tangganya kelak memiliki pondasi yang kuat. Maka dari itu dilakukanlah upacara Khatam Al Qur’an sebagai lambang bahwa anak dara tersebut telah menamatkan pembelajaran mengaji kitab suci Al Qur’an sehingga di rumah tangganya nanti memiliki tempat mengadu dan menganggungkan kebesaran Tuhannya. Upacara ini juga menandakan persebatian antara adat budaya Melayu dengan agama Islam. Acara ini dilakukan sehari setelah akad nikah pada pagi hari jam 08.00 pagi sampai jam 10.00 yang dilakukan di rumah pengantin wanita, kadang diikuti oleh adik-adiknya. Khatam Al-Qur’an dipimpin oleh guru mengaji pengantin perempuan dan dihadiri oleh kaum perempuan saja. Hal ini terjadi karena memang ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Setelah selesai khatam Al-Qur’an dilanjutkan dengan berzanji dan marhaban yang pelaksanaannya adalah kaum perempuan semua. Berkhatam Al-qur’an juga menunjukkan kuatnya keimanan seseorang atau keluarga yang mengasuhnya sejak dari kecil lagi.
Hal ini terlihat dalam ungkapan adat yang berbunyi :
Kalau duduk suruh mengaji
Kalau tegak suruh sembahyang


Kemudian ditemui pula dalam pantun nasihat :
Dari kecil Cilcilak Padi
Sudah besar Cilcilak Padang
Dari kecil duduk mengaji
Sudah besar tegak sembahyang
7.      Hari Berlangsung (Hari Bersanding)
Kemudian, tibalah pada acara yang paling dinanti-nantikan oleh kedua mempelai setelah mereka berstatus sah sebagai suami istri, yaitu hari langsung atau disebut juga hari bersanding di mana pengantin pria diarak dari rumahnya menuju kerumah pengantin wanita untuk disandingkan di pelaminan. Acara tersebut dilaksanakan setelah shalat Zuhur yang dimulai lebih kurang jam 13.00 Wib siang. Upacara ini dilaksanakan secara besar-besaran di rumah pengantin perempuan dan mengundang seluruh sanak saudara, handai taulan, kaum kerabat jauh dan dekat. Setelah shalat zuhur pengantin perempuan didudukkan diatas pelaminan sambil menunggu ketibaan pengantin laki-laki yang didampngi oleh dua anak dara yang bertugas mengipas pengantin. Sedangkan mak andam menanti ketibaan pengantin laki-laki di muka pintu rumah sambil memegang beberapa kantong uang untuk persiapan adanya upacara buka pintu. Pengantin lelaki mempersiapkan diri dengan berpakaian baju Melayu Cekak Musang dari tenunan Siak. Di jari kelingking serta ibu jari dipakai canggai sedangkan di kepala dipakai yang dinamakan perkakas andam (Desto/Destar) atau tanjak/tengkolok dari tenunan Siak.
8.      Makan bersuap (Makan Berhadap)
Setelah kedua mempelai selesai bersanding, kemudian mak andam membawa pengantin turun dari mempelai untuk melakukan upacara makan bersuap-suapan atau makan berhadap di hadapan orang tua pihak pengantin perempuan dan pengantin laki-laki dan para jemputan. Mak andam mengambil piring untuk kedua pengantin dan memasukkan nasi dan lauk pauknya dan mengambil tangan pengantin perempuan untuk menjemput nasi sesuap yang disuapkan kepada pengantin laki-laki, demikian sebaliknya. Prosesi ini sebagai simbol kesetiaan, kecintaan, dan pengabdian istri kepada suami. Setelah selesai acara bersuap antara kedua pengantin, maka dilanjutkan makan bersama semua tamu jemputan.
Kemudian prosesi yang terakhir adalah prosesi setelah perkawinan yang mengatur tentang adat menetap sesudah kawin, adat mengenai perceraian dan kawin ulang, hukum waris, poligami, hal anak, dan hubungan kekerabatan antara menantu dengan keluarga istri atau suami dengan melalui beberapa tahap yaitu:
1.      Mandi Damai (Mandi Taman)
Setelah pengantin menyelesaikan berbagai prosesi pernikahan hingga selesainya upacara bersanding, maka esok harinya dilakukanlah prosesi selanjutnya yaitu Mandi damai atau mandi taman. Kedua pengantin dimandikan menggunakan air tolak bala yang dicampur dengan bunga-bunga tertentu. Acara ini pada hakekatnya mencerminkan rasa syukur kepada Allah yang telah memberi berkat selama acara berlangsung dan rasa terimakasih pula kepada kaum kerabat handai taulan atas terlaksananya serta berlangsungnya upacara perkawinan ini dengan selamat. Kedua pengantin telah bersatu menjadi suami istri dan selaras dengan adat istiada Melayu serta sunah Rasul dan ajaran Islam dengan pedoman Al-Qur’an.
2.      Mengantuk dan Mengasah Gigi
Setelah selesai upacara mandi damai, mak andam membawa kedua pengantin masuk ke dalam rumah untuk mengeringkan badan dan berpakaian lengkap. Setelah itu, mereka dibawa oleh mak andam keluar dari dalam bilik peraduan dan didudukan diatas gerai pelaminan untuk dilaksanakan upacara mengantuk dan mengasah gigi kedua pengantin. Alat-alat yang diperlukan upacara ini adalah satu buah batu asah, sebuah telur ayam dan sebentuk cincin emas dan sebuah kikir yang diletakkan di dalam sebuah mangkok atau piring yang ditempatkan di sebelah kiri pengantin seperti melaksanakan upacara tepung tawar. Menurut adat, mengasah gigi hanya diperbolehkan untuk bujang dan gadis yang telah menikah yang dilakukan oleh orang tua-tua dan kaum kerabat baik laki-laki maupun perempuan yang dihimbau secara bergantian dengan bilangan ganjil. Cara pelaksanaanya ialah orang tua yang dipanggil atau dihimbau tadi naik ke gerai pelaminan mengambil telur ayam yang telah disediakan mengantuk telur tersebut ke gigi kedua pengantin, kemudian diambil cincin emas juga dilaksanakan sama dan diambil lagi batu asah atau kikir digoreskan kedua gigi pengantin laki-laki dan perempuan itu demikian seterusnya dilaksanakan secara bergantian oleh orang tua yang dimintakan untuk melaksanakan upacara ini.
3.      Menyembah Kedua Orang Tua dan Keluarga
Acara menyembah kedua orang tua dan keluarga merupakan acara yang bermaksud untuk memohon ampun kepada kedua orang tua pengantin dan juga memohon restu mereka agar dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka selalu diberikan keselamatan dna kesejahteraan hingga ke hari depan selalu dipenuhi kebahagiaan. Pengantin laki-laki dan pengantin perempuan dibimbing oleh mak andam menghadap dan menyembah kedua orang tua pengantin perempuan terlebih dahulu dan kemudian diteruskan dengan kedua orang tua pengantin laki-laki, dilanjutkan kepada mak dan ayah saudara dari kedua pengantin serta kakak-kakak, abang-abang dan kaum kerabat yang hadir di upacara tersebut.
4.      Makan Nasi Damai
Makan nasi damai bermaksud agar selama bergaul maupun selama berlangsungnya perhelatan pernikahan antara sesama keluarga, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan mungkin terdapat saling salah paham baik yang disengaja maupun tidak, maka saat itulah semuanya dapat dilupakan dan terhindar dari berbagai sengketa dikemudian hari. Antara kedua belah pihak, mungkin ada hal-hal yang kurang berkenan di hati, yang tersalah cakap, yang salah ditempatkan, yang salah didulukan dan dikebelakangkan dan yang salah didudukan tidak pada tempatnya, atau ada kata-kata yang tidak layak diucapkan maupun yang didengar dan sebagainya, maka makan nasi damai inilah untuk penghilang hal-hal salah pengertian tersebut sehingga kehidupan baru berumah tangga bagi pengantin tidak membawa onak dan duri yang nantinya menjadi penyebab atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam perahu kehidupannya.
5.      Malam Mengunjung Mertua
Menurut adat Melayu, setelah melangsungkan upacara pernikahan, pengantin pria akan bertempat tinggal dirumah pengantin perempuan, sehingga dilakukanlah prosesi yang terakhir setelah semua acara resmi dari perhelatan perkawinan selesai yaitu malam mengunjungi mertua atau menjelang mertua. Pengantin perempuan bersama suaminya dan kaum kerabat pengantin perempuan pergi menjelang mertua atau berkunjung ke rumah orang tua suaminya pada malam hari selepas shalat maghrib. Upacara ini bukan saja dilaksanakan kedua mertua pengantin laki-laki saja namun juga dilaksanakan kepada bapak saudara kedua pengantin serta anak saudara yang patut-patut. Biasanya dalam adat istiadat Melayu kunjungan atau kedatangan kedua pengantin ini bagi orang tua yang dikunjungi memberikan nasehat dan tunjuk ajar serta memberi pula cenderamata kepada sepangsang pengantin.[9]
C.    Adat Perkawinan Suku Melayu
Dari sudut bahasa pula, Melayu memiliki ciriciri persamaan dengan rumpun keluarga bahasa Melayu-Austronesia (menurut istilah arkeologi) atau keluarga Melayu-Polinesia (menurut istilah linguisik). Demikian pula keberadaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, mereka menyadari bahwa mereka adalah berada di negara Indonesia, menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa saling memiliki kebudayaan Melayu. Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan masyarakat Melayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan tadi. Secara budaya, baik bahasa dan kawasan, memiliki alur budaya yang sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya Melayu. Secara geopolitik, Dunia Melayu umumnya dihubungkan dengan negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan alur utama budaya Melayu, di antaranya adalah: Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Selatan Thailand, Selatan Filipina, sebahagian etnik Melayu di Kamboja dan Vietnam, dan lain-lain tempat. Berikut ini akan dihuraikan beberapa kawasan tersebut, terutama yang memiliki hubungan kebudayaan dengan etnik Melayu yang ada di Sumatera Utara.
Pada Masyarakat Melayu dikenal beberapa adat perkawinan. Adanya beberapa adat perkawinan ini terbentuk karena kebudayaan daerah setempat. Beberapa adat Perkawinan tersebut adalah :


1.      Kawin Semando
Kawin semando adalah adat perkawinan berupa materialchat, yang berarti garis keturunan menurut pihak Ibu. Jalinan hubungan kekeluargaan timbal balik antara persukuan mempererat hubungan perkauman yang dinamakan semando menyemando[10] ( Said, 2006 : 335). Adat perkawinan Semando dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
  1. Adat Semando Ketemanggungan : Raja menikah sama derajat (Patriakat) , Raja menikah dengan anak raja-raja atau Suku Non Tujuh atau Suku Mandahiling.
  2. Adat Semando Perpatih Nan Sebatang : Yaitu adat perkawinan antara Suku Andiko dengan Suku Andiko (matriakat), Laki-laki Suku Mandahiling dengan wanita Suku Non Tujuh (Matriakat).
2.      Kawin Menjujur/Jujuran
Selain adat kawin semondo, ada pula adat perkawinan Jujuran. Adat perkawinan Jujuran ini terkhusus antara wanita (boru) asal Mandahiling (Tapanuli Selatan) dengan laki-laki melayu. Si wanita dibawa dari asal tempatnya dan perkawinan berlangsung di rumah laki-laki (pihak Melayu) dan untuk selamanya menetap di rumah laki-laki. Adapun si wanita asal mandahiling yang telah meninggalkan rumah dan keluarganya itu berarti telah dilepas sepanjang adat untuk selama-lamanya dari lingkungan keluarganya.
Pengisian adatnya seiring dengan jumlah yang disesuaikan yang  bernama tuhor atau sering disebut dengan tuhor boru. jumlah tuhor yang harus diberikan biasanya tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak dan dipertimbangkan dari pendidikan si wanita, latar belakang keluarga, dan sebagainya.
Sebaliknya apabila wanita dari persukuan melayu kawin dengan laki-laki Mandahiling apakah adat semando atau adat Jujuran yang dipakai ?
Adat yang dipakai merupakan hasil  persesuaian dan hasil perundingan sejumlah anggota keluarga timbal balik. Namun pada umumnya adalah adat semando. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak berdomisili dalam perkampungan melayu daerah Pasir Pengarayan.
Jika laki-laki mandahiling yang datang ke rumah si wanita melayu melaksanakan akad nikah, maka dengan sendirinya menurut ketentuan adat semando garis keturunan  menurut pihak ibu (material chat). Wanita asal mandahiling yang kawin dengan laki-laki melayu dengan mengisi tuhor yang disepakati, maka turunan anak akan sesuai dengan pihak ayah atau laki-laki melayu.
Dalam perkawinan Semando ataupun perkawinan jujuran yang terpenting adalah dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan adat tidak akan membawa resiko apa pun selama suami dan isteri aman dan damai.
Persoalan adat akan muncul apabila terjadi perceraian hidup ataupun perceraian mati. Masalahnya akan timbul di mana wanita asal Mandahiling tidak berhak menguasai anak-anak sebab jatuh di bawah pihak kekuasaan laki-laki (ayah)
Satu hal yang unik adalah perkawinan wanita melayu dengan laki-laki Mandahiling sering gagal apabila laki-laki mandahiling melamar membawakan adat jujuran. Begitupun di daerah Pasir Pengarayan tidak ada kungkungan adat melarang perkawinan/perjodohan sebagaimana kenyataannya ada perjodohan dengan suku asal Minangkabau-Tapanuli Selatan, Aceh-Jawa, dan sebagainya. Selesai akad nikah atau ijab Kabul pengantin laki-laki kembali kerumahnya sampai saat diadakan peresmian perhelatan
3.      Kawin Lari
Salah satu cara perkawinan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh masyarakat umumnya dan di luar adat istiadat adalah apa yang disebut sebagai kawin lari. Banyak sekali pengertian kawin lari di masyarakat Indonesia. Menurut Wikipedia, dikatakan bahwa Kawin lari merupakan tindakan melarikan seorang wanita tanpa izin, yang bertujuan untuk hidup bersama maupun menikah. Adapun dalam masyarakat batak kawin lari dimaksudkan bukan berarti tidak mendapat restu dari orang tua, tetapi terjadi karena si pengantin belum bisa menyelesaikan prosesi adat yang wajib untuk pernikahan (Wikipedia). Namun pada masyarakat Melayu Pasir Pengarayan yang dimaksud dengan kawin lari adalah suatu keadaan yang terjadi dikarenakan beberpa hal-hal tertentu.  Meskipun pada pelaksanaan perkawinan dilakukan atau dilangsungkan menurut syari'at Islam, tetapi oleh karena tata cara kawin lari di mana si laki-laki dan si wanita meninggalkan kampungnya dan pergi ke negeri lain mengucapkan akad nikah, ijab Kabul, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya dikatakan sebagai kawin lari.
Kedua pemuda dan pemudi sudah bersama-sama bertekad sepenuhnya untuk meningkatkan pada jenjang perkawinan atau hidup suami isteri. Kasih yang sudah terikat dan sayang atau cinta yang sudah terpaut tidak mungkin lagi dihalang-halangi dengan tekad yang tidak dapat ditawar-tawar "membujur lalu melintang patah". Akan tetapi untuk melaksanakan perkawinan akan terjadi beberapa halangan dan rintangan antara lain :
  1. Pihak laki-laki yang tidak mampu menurut adat : "Lembaga diisi , adat dituang" artinya memenuhi biaya perkawiinan dan beberapa persyaratan menurut adat istiadat.
  2. Ibu/Bapak pihak wanita kurang setuju atau ada hal-hal lain yang sedikit kurang serasi dalam lingkungan keluarganya serta kaum kerabat.
  3. Terbentur dan menemui jalan buntu menghadapi cara perkawinan menurut adat masing-masing pihak. Seumpamanya adalah satu pihak mempertahankan adat materialchat yang berarti garis keturunan berasal dari pihak ibu yang kita kenal sebagai adat semondo. Sedangkan di pihak satunya mempertahankan adat patrialchat yang berarti garis keturunan dari pihak ayah yang kita kenal sebagai adat jujuran. Ada juga disebabkan karena si wanita menolak calon dari orangtuanya, tetapi belum ada ikatan adat di antara mereka, sehingga si wanita kawin lari dengan jejaka yang dicintainya
Jika pelaksanaannya ini kurang hati-hati, maka akan menimbulkan konflik, bukan saja pihak orang tua, tetapi lebih memungkinkan dari pihak kaum keluarga atau orang sekampung. Sudah barang tentu kawin lari ini tidak akan ada meninggalkan pertanda apa-apa , sebab pihak orang tua sendiri akan ikut menghalangi. Apabila kawin lari yang terbentuk akibat biaya, lazimnya meninggalkan pertanda sehelai kain, sepucuk surat, ataupun pertanda lainnya.
Syarat-syarat Kawin lari, yaitu :
Kawin lari yang berkisar soal kemampuan mengenai biaya di mana sebenarnya pihak orang tua keduabelah pihak setuju. Maka kepergian ini meninggalkan pertanda.perkawinan tidak boleh dilangsungkan dalam kampung itu juga atau yang terdekat dari kampong tersebut sebab dikhawatirkan terganggu keamanan dan ketertiban. Caranya sudah diatur dengan cara :
  1. Dilaksanakan di negeri atau kampung lain, artinya semakin jauh semakin baik.
  2. jaraknya dari negeri/kampung asal tidak boleh kurang dari 2 marhalah atau lenih kurang sejauh 70 Km.
Sebelumnya sudah dipersiapkan surat-surat keterangan, terutama penjelasan bahwa si wanita bukanlah tunangan ataupun isteri orang lain dan lain-lain. Dari itu apabila mereka kembali ke tempat asalnya, maka segala sesuatunya diselesaikan dengan baik oleh orang tua adat dan pemuka-pemuka keduabelah pihak. 
4.      Nikah Terjun.
Yang dimaksud dengan nikah terjun adalah si pemuda dan si pemudi pergi ke rumah tuan qadhi di dalam kampung itu juga. Mereka mengatakan keinginan mereka untuk dikawinkan. Tuan qadhi belum boleh untuk melaksanakan begitu saja dan terlebih dahulu diberitahukan kepada orang tua si wanita untuk mendapatkan wali hakim.
Apabila pihak orang tua menolak, maka difasikkan, yang artinya ditinggalkan haknya sebagai wali hakim dan Tuan qadhi berhak menjadi wali hakim. Demikian kawin lari dan nikah terjun bagi persukuan Melayu sejak Kemerdekaan Republik Indonesia boleh dikatakan jarang terjadi apalagi setelah Pemerintah menetapkan Undang-Undang Perkawinan no. 1/1974[11]
D.    Upaya Pencegahan Kawin Lari
Pencegahan perkawinan ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Undang-undang memberikan hak kepada beberapa orang untuk mencegah atau menahan dilangsungkannya perkawinan, yang diatur dalam :
1.      Pasal 13, pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
2.      Pasal 14 dan Pasal 15, yakni pencegahan pernikahan dapat diajukan ke pengadilan dalam daerah hokum dimana pernikahan akan dilangsungkan oleh pihak keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
3.      Pasal 17, pencegah memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat perkawinan dalam daerah dimana perkawinan akan dilangsungkan dan pegawai penctat perkawinan memberitahukan adanya permohonan pencegahan perkawinan kepada masing-masing calon mempelai.
4.      Pasal 18 pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang menvegah.
5.      Pasal 19, perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.[12]
E.     Hukum Kawin Lari
Jadi bagaimana hukum mereka yang melakukan “Nikah Lari atau Kawin Lari” ini?  Jawaban atas hal ini adalah apabila yang dimaksud dengan kawin lari di sini adalah si lelaki membawa pergi si wanita menjauh dari pihak keluarga wanita, lalu menikahinya didaerah lain tanpa sepengetahuan dan seizin dari wali sah wanita tersebut, maka pernikahan ini hukumnya adalah “Terlarang dan Nikahnya Batal” dan wajib diulangi nikahnya sebagai solusinya, agar pernikahan mereka kembali sah dan bersih serta tidak selalu dalam kungkungan hukum zina, yang mana zina ini adalah tergolong dosa yang sangat besar selama mereka berkumpul sebagai suami-isteri, hukum ini dasar dalilnya adalah dari hadits Aisyah Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
"Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal." (H.R At-Tirmidzi dan Abu Dauddengan sanad Hadits adalah Shahih berdasarkan Ilmu Hadist).
Rasulullah Saw menyatakan hukum atas nikah yang seperti ini saking kerasnya pelanggaran tersebut adalah sampai tiga kali ucapan, yaitu : “nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal." Juga pada hadist ini, Rasulullah Saw bersabda,“Tidaklah sah pernikahan tanpa persetujuan dari wali.” (H.R Abu Daud).
Oleh karena susunan nasab dan mahram sebagai wali pernikahan bagi wanita diatas tidak terpenuhi dan tidak adanya persetujuan dari wali tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Saw diatas, maka pernikahan yang dilakukan dengan istilah “nikah lari atau kawin lari” adalah tidak dibenarkan dalam Islam, dan tidak pernikahan tersebut dianggap sah dalam Islam, yang lebih dikenal dengan istilah “nikah sirri atau bawah tangan wali”. Apabila telah terlanjur terjadi juga, ada beberapa hal yang bisa ditempuh untuk mengatasi dosa zina ini selain dari bertaubat yang paling utama dilakukan adalah bisa ditempuh dengan beberapa alternatif, yaitu antara lain :
1.      Melakukan perdamaian dan pertemuan keluarga kedua belah untuk memperbaiki hubungan ini kembali agar bersih berdasarkan syari’at Islam, bersama-sama melakukan “Sulh” (perdamaian atau perbaikan) dengan wali pihak wanita (bapak dan ibunya atau sesuai dengan urutan wali diatas), hal ini boleh dilakukan sebagai solusi berdasarkan dari riwayat hadist dari Rasulullah Saw yang bersabda : “Sulh (berbaikan atau berdamai) yang terjadi di antara kaum muslimin hukumnya adalah boleh.” (H.R Abu Daud). Jadi bisa saja dari hasil kesepakatan ini diadakan akad nikah ulang bagi mereka dan sesuaikan kembali persyaratannya menurut hukum pernikahan Islam yang sah dan resmi.
2.      Bila satu atau beberapa komponen atau dari pihak masyarakat yang memproses akan keberadaan hukum pernikahan mereka ini, menemukan tidak ada wali pihak wanita yang lain selain bapaknya yang mungkin untuk ini, maka melaporkan masalah ini kepada hakim syar’i yang sudah ditunjuk oleh pemerintah yang resmi dan merekalah yang memutuskan solusi hukum syar’i apa yang dilakukan bagi mereka yang telah terlanjur berbuat nikah lari atau kawin lari tersebut. Kewajiban bagi seorang muslim adalah bersabar dalam menghadapi sesuatu masalah dan membuat suatu keputusan bersama secara azas mufakat adalah solusi terbaik dalam menyikapi masalah ini, niscaya Allah Swt tentu juga akan memberikannya jalan keluar. Allah Swt berfirman,“Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikannya jalan keluar, barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan baginya kemudahan pada perkaranya.” (Q.S Ath-Thalaq : 2-4).
Di antara jalan keluar yang mungkin Allah Swt berikan yaitu menjaga hati umat muslimin untuk selalu dan menjaga kehormatannya dengan tidak mengikuti cinta secara duniawi dan berdasarkan hawa dan nafsunya yang memang tidak dikehendaki oleh-Nya, Allah Swt berfirman,“Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S An-Nisaa’ : 19). 
Untuk terhindar dari hal-hal yang sedemikian, maka hendaknya para kawula memperhatikan cara-caranya dalam berhubungan antar pasangan (pacaran) agar senantiasa memperhatikan norma-norma dan akhlak yang baik, serta menjaga selalu batasan-batasan yang sesuai dengan aturan dan ketentuan syari’at Islam itu sendiri, jangan perturutkan cinta buta yang penuh dengan kebebasan serta bisa menghilangkan pemikiran dan akal yang sehat dalam tindak dan perbuatan selama mereka melakukan hubungan asmara percintaan sesama pasangannya, sehingga menjadi tersesat kejurang kemasiatan, keingkaran dan kekufuran yang cikal bakal terjadinya pernikahan melalui cara melarikan diri dari aturan dan koridor hukum, jadi muaranya adalah neraka baginya didunia apalagi diakhirat jika tidak segera bertaubat, Allah Swt marah dan murka dan tidak akan melihat positif sedikitpun pada perbuatan umat manusia yang melakukan hal ini, berdosa atas nikah yang tidak sah serta berdosa atas menyakiti hati segenap keluarga dan ditambah lagi melakukan zina terang-terangan secara hukum Islam, karena mereka telah bersatu tanpa adanya hukum yang sah guna menaungi atas bersatunya pasangan tersebut, akibatnya kedamaian, ketenangan, ketenteraman, kelanggengan dan kebahagiaan yang dicita-citakan akan menjadi jauh dari kehidupan mereka sendiri.[13]











BAB III
Hasil Penelitian
A.    Wawancara dengan Narasumber

1.      Wawancara dengan ibu Fina Zufriani
Ket : Observer (Ob), Narasumber (N)
Ob       : Assalamualaikum buk,
N         : Waalaikumsalam nak, mari-mari sini masuk nak..
Ob       : iya buk, terimakasih..
              Maaf ya bu mengganggung waktu senggangnya..
N         : iya nak, tidak apa-apa. Kalian darimana ini kok jaketnya sama semua?
Ob       : iya bu, kami dari mahasiswa UIN Sumatera Utara, Medan bu.
N         : oh iyaiya nak, Kalau ibu boleh tau ada keperluan apa ini nak ?
Ob       : begini bu, tujuan kami kesini karena adanya tugas dari salah satu mata kuliah yang mengharuskan kami untuk melihat, serta mengobservasi masalah perkawinan yang terjadi di daerah ini, terkhusus mengenai masalah kawin lari. Didaerah ini ada tidak bu yang mengalami seperti itu ?
N         : oh..disini kalau masalah kawin lari ada nak, tetapi jarang terjadi.
Ob       : menurut ibu, apa yang menyebabkan mereka kawin lari ?
N         : kalau disini kebanyakan karena masalah ekonomi nak, dan banyak yang tidak disetujui oleh orang tuanya..
Ob       : biasanya kawin lari yang terjadi disini diadatin lagi apa tidak bu.
N         : tergantung nak, jika kedua orang tua baik dari laki-laki dan perempuan menyepakati untuk diadatin maka proses mengadatin tersebut dilakukan nak, tetapi jika tidak ya tidak. Tetapi jarang sekali proses diadatin tersebut kalau keduanya itu kawin lari nak, paling hanya mengadakan pengajian dan syukuran gitu aja.
Ob       : iya bu, bagaimana menurut ibu, biasanya orang yang seperti itu apakah hubungan keluarga antar kedua pihak renggang atau bagaimana bu ?
N         :  setau ibu kalau renggang si tidak ya, hanya saja karena perilaku masing-masing anak mereka orang tuanya yang mendapatkan akibat buruknya, misalnya seperti banyak tetangga-tetangga yang menggunjing keluarga mereka dan menyebarka isu-isu yang tidak benar nak. Kalau hubungan antar kedua belah pihak ya akur-akur saja nak.
Ob       : oh gitu ya bu, terima kasih banyak ya bu atas waktunya yang sudah mau menerima kami disini.
N         : iya nak sama-sama..
Ob       : kami pamit dulu ya bu, assalamualaikum bu..
N         : waalaikumsalam nak.

2.      Wawancara dengan Ibu Zulaifi
Ob       :Assalamu’alaikum  buk
N         : Wa’alaikum salam  nak
Ob       : permisi buk, boleh minta waktunya sebentar?
N         : iya nak, boleh…
Ob       : Jadi gini buk, kami ini dari mahasiswa uinsu  dan maksud kedatangan kami ke sini, kami mau mengobservasi  buk
N         :  Mengobservasi tentang apa ya nak?
Ob       : kami ingin mengobservasi tentang kawin lari. Disekitarlingkungansini sepengetahuan ibuk pernah terjadi  kawin lari?
N         : Ooh… sepengetahuan ibuk ada sih nak, tapi  kejadiannya itu sudah lama sekali.
Ob       : ooh gitu ya buk, mereka itu masyarakat asli dari sini ya buk?
N         :  iya nak.
Ob       : Jadi sekarang kehidupan mereka seperti apa buk?
N         : Iya, sekarang sih mereka baik- baik saja, dan orang tua mereka sudah mau menerima mereka
Ob       : Ketika kawin lari mereka tinggal dimana buk?
N         : Setelah menikah mereka tidak tinggal disini, tapi setelah beberapa  tahun kemudian mereka kembali ke lingkungan sini.
Ob       : ooh…. Begitu ya buk
N         : iya nak.
Ob       : Menurut ibuk apakah dalam budaya melayu ada istilah kawin lari?
N         ; Tidak ada nak, menurut budaya melayu kawin lari, tetap disebut kawin lari.
Ob       : Menurut ibuk  masyarakat dalam budaya melayu banyak gak yang kawin lari?
N         : Tidak banyak nak, hanya beberapa orang saja. Sepengetahuan ibuk sih gitu nak
Ob       : oh iya  buk, menurut ibuk bagaimana keadaan mereka yang kawin lari? Kalau kami boleh tau keadaan ekonominya seperti  apa ya buk?
N         : Kalau itu ibuk gak tau nak
Ob       ; Oiya buk penyebab  mereka yang memilih kawin lari apa ya buk?
N         : ( Ibuk tersebut sejenak diam,) jadi gini nak, kalau penyebabnya , apa ya… ibuk kurang tau nak.
Ob       : ooh kalau gitu terima kasih banyak untuk waktunya ya buk,
N         : Iya nak, sama-sama nak
Ob       : oiya buk, sebelum kami pamit pulang, kami mau  berfhoto dulu buk
Ob       : Okey buk, kami pamit pulang ya buk. Assalamu’alaikum buk
N         : wa’alaikum salam , hati-hati kalian semua ya nak.

            3. Wawancara Dengan Ibu Sela
Ob       : assalamualaikum buk
N         ; waalaikum salam ada yang bisa dibantu nak
Ob       : begini buk kami dari UIN jurusan bimbingan konseling islam disini kami mau observasi tentang kawin lari melayu  mata  kuliah konseling lintas budaya
N         : owh, seperti itu
Ob       : jadi kami disini mau meminta bantuan ibuk untuk wawancara  tentang kawin lari, apakah disini ada orang kawin lari ?
N         : ada nak
Ob       : jadi buk kawin lari itu disini sering terjadi?
N         : tidak juga nak
Ob       : jadi disini kawin lari sudah lama terjadi ?
N         : udah lama juga nak
Ob       : kira-kira apa penyebab terjadinya kawin lari disini buk
N         : biasanya terjadi karena kurangnya restu orang tuanya , jadi mereka kawin lari saja walaupun mereka tidak direstui oleh orang tuanya .
Ob       : ooh, seperti itu buk ,  jadi bagaimana tanggapan orang tuanya kalau sepengetahun ibuk terhadap anaknya yang kawin lari , apakah sampai sekarang tidak direstuin juga ?
N         : setahu saya orang tuanya sudah menerima mereka ,karena sejahat-jahatnya anak pasti tetap diakui dan dianggap anak yang paling disayang oleh kedua orang tuanya.
Ob       : jadi sekarang sudah diterima kembali dia ya buk dengan orang tuanya ?
N         : iya nak mereka sudah diterima sekarang dikeluarganya
Ob       : oh yabuk disini apakah ada istilah kawin lari ?
N         : setahu saya tidak ada istilah kawin lari
Ob       : apakah disini orang orang kawin lari itu mesti disyaratin kalau orang itu kembali keorang tuanya
N         :  tidak nak ,kalau mereka sudah kembali pulang pada orang tuanya ya sudah, yang penting mereka sudah menikah dengan sah.
Ob       : owh seperti itu buk ,  terimakasih ya buk atas informasinya
N         : iya nak
Ob       :  sebelum kami pamit , boleh kita foto dulu buk
N         : boleh
Ob       : terimakasih ya buk , asslamualaikum
N         : waalaikum salam









B.     Kesimpulan
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan maka dapat disimpulkan bahwa dalam suku melayu istilah atau nama lain dari kawin lari tidak ada. Kemudian didaerah tersebut pernah terjadi kawin lari dan jarang dijumpai. Masyarakat disana berpandangan bahwa kawin lari sangat memalukan dan dipandang sangat jelek. Kemudian para narasumber tidak terlalu luas dalam menjelaskan mengenai kawin lari ini, karena mereka takut salah menyampaikan informasi. Dengan waktu yang sangat singkat kami pun memanfaatkan waktu tersebut. Informasi yang kami dapatkan dari narasumber tersebut bahwa penyebab terjadinya kawin lari ini dikarenakan faktor ekonomi baik dari pihak laki-laki maupun perempuan sehingga kedua orang tua dari kedua bela pihak tidak merestui keduanya. Hal inilah yang menyebabkan mereka kawin lari. Kemudian keadaan setelah mereka kawin lari sangat berdampak pada hubungan mereka dengan kedua orang tuanya, tidak itu saja kedua orang tua mereka juga merasakan dampak tersebut, misalnya para tetangga yang munggunjingkan keluarga mereka yang seperti itu. Tetapi, seiring berjalannya waktu keadaan hubungan antara keduanya mulai membaik, karena orang tua mana yang tega membiarkan anaknya begitu saja. Pastilah semua orang tua sangat mempedulikan anaknya.
C.    Saran
Dalam hal ini sangat diharapkan kepada para orang tua supaya tidak mempersulit anak-anak mereka dalam melangsungkan pernikahannya, kemudian peran masyarakat sangat penting dalam permasalahan kawin lari ini, masyarakat dapat berpartisipasi dengan cara lebih meningkatkan budaya religius agar hal ini tidak dapat terjadi.






DAFTAR PUSTAKA
Antonius. 2014. Korelasi Kebudayaan & Pendidikan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Evawarni,2009. Hubungan Antar Suku Bangsa di Kota Pangkalpinang, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Ibrahim. 1994. Wujud Variasi dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Pada oran Melayu, Jambi: Departemen Pendidikan danKebudayaan.
Tengku Muhammad Lah Husni, 1986. Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Said, Mahidin. 2006. Adat dan Kebudayaan Pasir Pengarayan. Pekanbaru : Lembaga Adat Melayu Riau.
Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.









LAMPIRAN
SAAT WAWANCARA Observer 1.
Foto bersama observer 2.


Foto bersama observer 3
Foto bersama di mesjid Al Osmani


[1] Ibrahim, Wujud Variasi dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Pada oran Melayu, Jambi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994) Hal iii
[2]Evawarni, Hubungan Antar Suku Bangsa di Kota Pangkalpinang (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,2009) Hal 28
[3]Antonius, Korelasi Kebudayaan & Pendidikan (Jakarta,Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) Hal 89
[4] Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. H. 140
[5] Tengku Muhammad Lah Husni, 1986. Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. H. 125
[6] Tengku Muhammad Lah Husni,.Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. H. 129
[7] Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. H. 140
[8] Wan Abdul Kadir,.Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran.H. 140
[9]Said, Mahidin. 2006. Adat dan Kebudayaan Pasir Pengarayan. Pekanbaru : Lembaga Adat Melayu Riau. H. 336
[10]Said, Mahidin. Adat dan Kebudayaan Pasir Pengarayan. H. 341

[11]Said, Mahidin. Adat dan Kebudayaan Pasir Pengarayan. Pekanbaru, h. 346.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VECTOR ART RONALDO